Dari : Info Galangpress info.galangpress@gmail.com
Mungkinkah buku menjadi gaya hidup (life style)? Jawabannya mantap, "Ya, bisa!", kata Mardiyanto, editor Galangpress dalam acara Roundtable PRO 2 RRI Jogja (15/09) yang dipandu Erna dan Luluk. Saat ini penerbitan buku sedang menggeliat, banyak buku-buku hadir dan bisa menjadi panduan hidup bagi semua orang. Hadirnya buku-buku how to, novel religi, dan makin variatifnya pilihan judul buku membuat
pembaca bisa bebas memilih buku.
Ya, dalam kehidupan saat ini me'life style-kan buku bukanlah omong kosong bak impian di siang bolong. Lihat saja, awalnya minum kopi hanyalah cara agar tahan dari rasa kantuk, tapi coba sekarang minum kopi bukan lagi untuk mencegah kantuk tapi juga ajang kumpul-kumpul dan diskusi, akhirnya minum kopi malah menjadi gaya hidup baru para mahasiswa dan eksekutif muda.
Jadi, mengapa buku tidak! Setiap hari kita habiskan pulsa dan saban akhir pekan menyatroni J.Co, KFC, Hoka Hoka Bento, dan sebagainya. Mengapa kita menyatroni toko-toko buku saja, berburu buku menarik dan inspiratif. Hal inilah yang mesti ditumbuhkan pada masyarakat, kesadaran, bahwa ada kekayaan terpendam di dalam sebuah buku.
Buku adalah jendela dunia, dari sebuah buku kita bisa menemukan ide, gagasan, bahkan bergegas bertindak setelah membacanya. "Jika ada 6 anak saja di sekolah yang setiap minggu sekali mengunjungi toko buku maupun perpustakaan dan menebarkan virusnya kepada kawannya, bukan tidak mungkin satu kelas akan keranjingan membaca," kata Mardiyanto.
Sudaryanto, seorang aktifis Forum Lingkar Pena (FLP) Jogja juga yakin bahwa ke depan dunia kepenulisan dan budaya membaca akan semakin semarak. Jika semua orang ke mana-mana menenteng buku, pastilah buku telah menjadi gaya hidup seperti halnya di negara-negara maju.
Plus Bedah Buku
Dalam acara berdurasi 180 menit itu juga diadakan bedah buku dari penerbit Pustaka Marwa (Galangpress Group) buku berjudul "Tahajud Energi Sejuta Mukjizat" yang menghadirkan Muhammad Thobroni (penulis). Dalam buku setebal 155 hlm tersebut M. Thobroni lebih banyak mengungkapkan kisah menarik di seputar Tahajud, seperti tahajudnya seorang mahasiswa ketika akan menghadpi ujian, tahajudnya seorang
pengangguran dalam perjuangannya mendapatkan pekerjaan, tahajudnya seorang yang ingin mencari jodoh, dan sebagainya. "Jadi, buku saya ini lebih banyak berisi kisah yang menggugah daripada tatacara dan rakaat shalat tahajud", kata M. Thobroni.
Dalam acara tersebut antusiasme pendengar cukup banyak, terbukti banyak telepon dan sms yang masuk ke PRO 2. Ke depan menurut Erna dan Luluk kegiatan semacam bedah buku dan diskusi akan mendapat tempat di masyarakat. Langkah ini tentu saja untuk membiakkan makin menjamurnya minat masyarakat kita terhadap budaya gemar membaca. Dan kerja sama dengan Galangpress akan terus berlanjut. Salut deh ....dan kita tunggu (mrd)
Salam dahsyat, Galangpress Groups, www.galangpress.com, www.galangpress.wordpress.com
Minggu, 12 Oktober 2008
Sabtu, 13 September 2008
Kepeningan Penerbit, Keinginan Peresensi
Oleh Anwar Holid
HUBUNGAN peresensi dengan penerbit ternyata cukup kompleks. Ini terjadi karena dalam diri peresensi terkandung beberapa aspek pembacaan dan kepenulisan, antara lain menyatu sekaligus sebagai pembeli (konsumen), pencinta (penikmat) buku, dan kritikus buku. Sementara kepentingan penerbit biasanya lebih langsung dan jelas, ialah harapan agar terbitannya diterima khalayak (pasar), diapresiasi dengan baik, dan cukup pantas untuk dibanggakan.
Mencari pola kerja sama yang pas dan fleksibel antara penerbit dan peresensi merupakan tema pertemuan peresensi Penerbit Matahati, yang diadakan di perpustakaan Bale Pustaka, Bandung, 28 Agustus 2008. Di awal berdiri, Matahati boleh jadi paling dikenal karena menerbitkan tetralogi Kisah Klan Otori (Lian Hearn.) Mereka kini menerbitkan fiksi dan nonfiksi, mulai dari genre fiksi fantastik sampai buku manajemen motivasi diri dan wawasan dunia medis. Hadirin hampir semua sekaligus merupakan blogger, dengan rentang kecenderungan antara sebagai desainer dan komikus, penulis buku dan cerpen, jurnalis, dan pendidik Buku dan tulisan sudah mengurat dalam diri mereka.
Mayoritas peresensi mengaku idealnya ingin meresensi buku yang benar-benar mereka sukai; artinya meresensi itu pada dasarnya sulit bila dipaksakan. Peresensi bahkan bisa suka rela dan senang akan meresensi buku yang mengesankan serta mampu menimbulkan impuls atau hasrat menulis. Biasanya, resensi yang lahir dari kondisi ideal itu akan persuasif, berhasil meyakinkan orang lain---terutama kawan dekat dan komunitas---bahwa pilihan dan penilaiannya tepat, dan secara alamiah merupakan tulisan yang bagus. Efeknya bisa luar biasa, antara lain menjadi word of mouth berbentuk tulisan yang sangat mempengaruhi keputusan beli pembaca. Rekomendasi kawan dekat ternyata bisa jauh lebih tepercaya dibandingkan endorsement pesohor (selebritas) sekalipun.
Boleh jadi pada kondisi seperti itulah kepentingan penerbit dan keinginan peresensi bertemu dan bernegosiasi. Penerbit berkepentingan agar produknya segera dikenal publik, diserap pasar, segera mendapat publikasi seluas mungkin, dan jadi topik pembicaraan kalangan yang disasar.
Minat terhadap jenis buku tertentu sangat berpengaruh terhadap kemauan peresensi dan mood menulis sebenarnya bisa dibentuk atau dilatih. Meski harus diakui peresensi pun bisa gagal menulis karena kurang disiplin dan profesional. Di sisi lain peresensi yang berdedikasi kerap butuh waktu untuk secara bersamaan menikmati dan menemukan inti buku, sebelum memutuskan mengulas dan menyatakan kepada publik apa buku tersebut pantas direkomendasikan atau malah dikomentari dengan pedas saking banyak hal yang bisa dikecam. Apa pun hasilnya, minimal peresensi menceritakan hasil pembacaannya. Itulah yang paling penting, bahwa sebuah buku sudah diselami, dijelajahi, masuk dalam ingatan, untuk suatu saat muncul lagi, baik dalam obrolan, berinteraksi dengan pembaca lain, atau ketika menulis.
"Keinginan menulis resensi bisa muncul begitu saja," kata Hermawan Aksan. "Ada dua jenis buku yang bisa membuat keinginan meresensi saya timbul, yaitu buku yang sangat bagus dan buku yang sangat jelek. Tentu saya berharap penerbit memproduksi buku yang bagus."
Di zaman Internet ini, peresensi yang terbiasa posting di blog (book blogger), milis, dan situs jaringan komunitas interaktif makin menemukan kekuatan daya tular. Situasinya kian hari tambah menantang dan menarik. Sebagian penulis lebih memilih media ini karena faktor kemudahan, kebebasan, informalitas, juga kemerdekaan dan sifat demokratisnya. Sudah terbukti bahwa media baru ini secara umum bisa meningkatkan publisitas buku, mempengaruhi penjualan dan reputasi, meski data resmi mengenai pengaruhnya sulit dipastikan. Sifat interaktivitas media ini memungkinkan orang langsung berkomentar, berbagi, merespons, menambah, dan mengaitkan dengan buku lain maupun subjek lain (misalnya film, musik, politik.) Di sinilah peresensi mendapat "surga", mereka bertemu dengan sesama pencinta buku.
Karakter penulisan blog yang berbeda dengan karakter media massa konvensional membuat sejumlah blogger yang mau meresensi dan menulis sesuai kriteria media tersebut merasa kerap kesulitan menembus ketentuan redaksi. Pada satu sisi, ini kerap dianggap sebagai kekurangan resensi di blog dan masih membuat penerbit pikir-pikir untuk melibatkan mereka dalam publisitas buku. Tapi bayangkan sebuah resensi yang dikirim ke milis dengan ribuan anggota atau bisa memicu respons antusias banyak orang di sebuah blog, tentu situasi seperti itu menggembirakan penerbit dan penulis bersangkutan.
Sudah terbukti tulisan di blog dan milis bisa menguatkan daya pikat buku dan menaikkan reputasi peresensi. Perhatian penerbit pada peresensi berkisar antara secara rutin mengirim buku baru dan sesuai favorit, memberi honor tambahan untuk resensi yang ditulis, dipublikasi, maupun disebar ke milis, sampai mengikat kontrak untuk jadi publisis penerbit atau judul tertentu. Mungkin menarik juga menimbang memberi insentif untuk online khusus demi mengirim resensi yang diinginkan penerbit.
Poinnya ialah apa pun bentuknya, penghargaan itu penting. Penerbit menghargai peresensi dengan pantas, pembaca merespons, sedangkan peresensi menghargai penerbit dan pembaca dengan resensi yang bagus dan informatif. Interaksi intens antara penerbit dan peresensi kerap merupakan kunci pengikat emosi kedua belah pihak.[]
Pertama kali dimuat di Republika, Minggu, 7 September 2008.
HUBUNGAN peresensi dengan penerbit ternyata cukup kompleks. Ini terjadi karena dalam diri peresensi terkandung beberapa aspek pembacaan dan kepenulisan, antara lain menyatu sekaligus sebagai pembeli (konsumen), pencinta (penikmat) buku, dan kritikus buku. Sementara kepentingan penerbit biasanya lebih langsung dan jelas, ialah harapan agar terbitannya diterima khalayak (pasar), diapresiasi dengan baik, dan cukup pantas untuk dibanggakan.
Mencari pola kerja sama yang pas dan fleksibel antara penerbit dan peresensi merupakan tema pertemuan peresensi Penerbit Matahati, yang diadakan di perpustakaan Bale Pustaka, Bandung, 28 Agustus 2008. Di awal berdiri, Matahati boleh jadi paling dikenal karena menerbitkan tetralogi Kisah Klan Otori (Lian Hearn.) Mereka kini menerbitkan fiksi dan nonfiksi, mulai dari genre fiksi fantastik sampai buku manajemen motivasi diri dan wawasan dunia medis. Hadirin hampir semua sekaligus merupakan blogger, dengan rentang kecenderungan antara sebagai desainer dan komikus, penulis buku dan cerpen, jurnalis, dan pendidik Buku dan tulisan sudah mengurat dalam diri mereka.
Mayoritas peresensi mengaku idealnya ingin meresensi buku yang benar-benar mereka sukai; artinya meresensi itu pada dasarnya sulit bila dipaksakan. Peresensi bahkan bisa suka rela dan senang akan meresensi buku yang mengesankan serta mampu menimbulkan impuls atau hasrat menulis. Biasanya, resensi yang lahir dari kondisi ideal itu akan persuasif, berhasil meyakinkan orang lain---terutama kawan dekat dan komunitas---bahwa pilihan dan penilaiannya tepat, dan secara alamiah merupakan tulisan yang bagus. Efeknya bisa luar biasa, antara lain menjadi word of mouth berbentuk tulisan yang sangat mempengaruhi keputusan beli pembaca. Rekomendasi kawan dekat ternyata bisa jauh lebih tepercaya dibandingkan endorsement pesohor (selebritas) sekalipun.
Boleh jadi pada kondisi seperti itulah kepentingan penerbit dan keinginan peresensi bertemu dan bernegosiasi. Penerbit berkepentingan agar produknya segera dikenal publik, diserap pasar, segera mendapat publikasi seluas mungkin, dan jadi topik pembicaraan kalangan yang disasar.
Minat terhadap jenis buku tertentu sangat berpengaruh terhadap kemauan peresensi dan mood menulis sebenarnya bisa dibentuk atau dilatih. Meski harus diakui peresensi pun bisa gagal menulis karena kurang disiplin dan profesional. Di sisi lain peresensi yang berdedikasi kerap butuh waktu untuk secara bersamaan menikmati dan menemukan inti buku, sebelum memutuskan mengulas dan menyatakan kepada publik apa buku tersebut pantas direkomendasikan atau malah dikomentari dengan pedas saking banyak hal yang bisa dikecam. Apa pun hasilnya, minimal peresensi menceritakan hasil pembacaannya. Itulah yang paling penting, bahwa sebuah buku sudah diselami, dijelajahi, masuk dalam ingatan, untuk suatu saat muncul lagi, baik dalam obrolan, berinteraksi dengan pembaca lain, atau ketika menulis.
"Keinginan menulis resensi bisa muncul begitu saja," kata Hermawan Aksan. "Ada dua jenis buku yang bisa membuat keinginan meresensi saya timbul, yaitu buku yang sangat bagus dan buku yang sangat jelek. Tentu saya berharap penerbit memproduksi buku yang bagus."
Di zaman Internet ini, peresensi yang terbiasa posting di blog (book blogger), milis, dan situs jaringan komunitas interaktif makin menemukan kekuatan daya tular. Situasinya kian hari tambah menantang dan menarik. Sebagian penulis lebih memilih media ini karena faktor kemudahan, kebebasan, informalitas, juga kemerdekaan dan sifat demokratisnya. Sudah terbukti bahwa media baru ini secara umum bisa meningkatkan publisitas buku, mempengaruhi penjualan dan reputasi, meski data resmi mengenai pengaruhnya sulit dipastikan. Sifat interaktivitas media ini memungkinkan orang langsung berkomentar, berbagi, merespons, menambah, dan mengaitkan dengan buku lain maupun subjek lain (misalnya film, musik, politik.) Di sinilah peresensi mendapat "surga", mereka bertemu dengan sesama pencinta buku.
Karakter penulisan blog yang berbeda dengan karakter media massa konvensional membuat sejumlah blogger yang mau meresensi dan menulis sesuai kriteria media tersebut merasa kerap kesulitan menembus ketentuan redaksi. Pada satu sisi, ini kerap dianggap sebagai kekurangan resensi di blog dan masih membuat penerbit pikir-pikir untuk melibatkan mereka dalam publisitas buku. Tapi bayangkan sebuah resensi yang dikirim ke milis dengan ribuan anggota atau bisa memicu respons antusias banyak orang di sebuah blog, tentu situasi seperti itu menggembirakan penerbit dan penulis bersangkutan.
Sudah terbukti tulisan di blog dan milis bisa menguatkan daya pikat buku dan menaikkan reputasi peresensi. Perhatian penerbit pada peresensi berkisar antara secara rutin mengirim buku baru dan sesuai favorit, memberi honor tambahan untuk resensi yang ditulis, dipublikasi, maupun disebar ke milis, sampai mengikat kontrak untuk jadi publisis penerbit atau judul tertentu. Mungkin menarik juga menimbang memberi insentif untuk online khusus demi mengirim resensi yang diinginkan penerbit.
Poinnya ialah apa pun bentuknya, penghargaan itu penting. Penerbit menghargai peresensi dengan pantas, pembaca merespons, sedangkan peresensi menghargai penerbit dan pembaca dengan resensi yang bagus dan informatif. Interaksi intens antara penerbit dan peresensi kerap merupakan kunci pengikat emosi kedua belah pihak.[]
Pertama kali dimuat di Republika, Minggu, 7 September 2008.
Ayo Nikmati Efek Dahsyat Membaca !!!
Oleh Agga Van Danoe via e-mail 12 September 2008
Setelah melakukan shalat dhuhur ke 9 di bulan Ramadhan 1429 H, Hernowo didapuk untuk menyampaikan materi ter”anyar”nya yaitu “Menulislah Agar Dirimu Mulia: Pesan dari Langit”. Buku ke 33 yang ditulisnya ini merupakan serangkaian buku tentang menulis lainnya yang sudah dituliskannya dalam usianya yang sudah memasuki kepala 4 ini.
Meskipun di Bulan Ramadhan, namun saya merasa menjadi salah satu orang yang paling beruntung untuk menyaksikan dan melihat semangatnya yang menggebu-gebu dalam menyampaikan materi yang ia tulis tersebut. Bahkan, sampai sekarang Hernowo Tak pernah berhenti dalam memberikan wawasan kepada setiap orang yang dijumpainya dalam setiap training atau ceramahnya. Ya, materi yang disampaikannya sebagian besar adalah tentang membaca dan menulis.
Dalam pemaparannya Hernowo mengungkapkan tentang pentingnya membaca. Kenapa Penting? Karena banyak orang yang menganggap bahwa kegiatan membaca itu dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan tidak luar biasa, dahsyatnya membaca ini menurutnya jarang disentuh -terutama untuk orang-orang yang awam. Padahal wahyu pertama yang turun dari Allah kepada Rasulullah Saw adalah surat Al-'Alaq, yaitu Iqra.... (Bacalah).
Kalo saja kita sering meluangkan waktu, banyak hal yang dapat dimanfaatkan dengan membaca. Karena banyak sekali buku yang dengan jenis fiksi dan non fiksi (novel, biografi, sains fiction, psikologi, filsafat dll), yang memberikan dan menawarkan sesuatu yang baru. Begitu juga bagi Mas Hernowo. Dalam bukunya ini, beliau banyak menuliskan buku-buku dan para penulis yang mempengaruhinya. Ada Quantum Learning, Laskar Pelangi dgn Andrea Hirata, Harry Potter dgn JK Rowling, Dr. Howard Garrdner dengan teori Multiple Intelliegences, Rhenald Kasali, R.T. Kiyosaki, Stephen R. Covey dll. Ia merasa seperti diajak mengembara ke tempat-tempat yang jauh, dan memiliki banyak sekali kehidupan.
Menurut Edward Coffey -yang saya kutip dari buku membacalah Agar dirimu Mulia-
Kegiatan membaca yang dpt diselenggarakan secara kontinyu dan konsisten dapat menciptakan lapisan penyangga yang melindungi dan mengganti-rugi perubahan otak. Oleh karenanya proses membaca itu dapat menggantikan sel-sel yang mati di dalam otak kita karena tidak pernah dipergunakan, untuk kemudian menjadi sel baru yang lebih hidup.
Ketika Mas Hernowo memberitahukan tentang minat baca di Indonesia yang masih nol persen, salah seorang Audience di Mesjid Bio Farma merasa getir. Ia yang pernah merasakan hidup di Negeri Sakura, terkagum-kagum melihat semangat membaca masyarakat Jepang. Karena setiap hari, setiap saat, setiap orang yang ditemuinya, benar-benar tidak dapat dilepaskan dari buku. Dari mulai anak-anak sampai dengan orang dewasa. Dari mulai mengantri untuk mendapatkan kereta, menunggu panggilan di tempat praktek dokter, sampai dengan menunggu tibanya kereta di tujuan. Setiap orang terlihat bersemangat dalam membaca.
Budaya baca di Indonesia makin tergerus oleh media-media elektronik yang terus menerus menggempur kita. Bahkan dengan terus berkembangnya arus informasi serta teknologi, maka kebanyakan kita belum siap untuk mengantisipasinya. Seperti teknologi televisi misalnya, para pemilik stasiun televisi berlomba-lomba untuk mendapatkan jatah kue iklan untuk masing-masing stasiun tv-nya. Bahkan seringkali, banyak program tayangan mereka yang tidak mendidik. Kita-lah (para orangtua, para pendidik dan yang lainnya) yang harus memiliki filter agar mengalihkan kenikmatan menonton dengan kenikmatan membaca. Karena membaca -menurut mas Hernowo - adalah sebuah keterampilan sebagaimana memasak atau juga menyetir mobil. Dengan membiasakan membaca setiap hari selama 10-15 menit, tentunya kemampuan membaca kita akan terus meningkat.
Akhirnya setiap diri kita dituntut untuk dapat merasakan efek dahsyat dari membaca ini. Dan di dalam buku Membacalah Agar Dirimu Mulia ini, Hernowo memberikan semua informasi yang kita butuhkan tentang membaca. Bahkan saya sendiri merasa sedang kembali di charge untuk mengembalikan kenikmatan-kenikmatan itu agar kembali bersarang di dalam jiwa saya, sehingga dipenuhi oleh gairah-gairah membara.
Rayakanlah Kegiatan Membaca Anda.Berbanggalah Bahwa Diri Anda. Telah Menjalankan Kegiatan Yang Mulia. Teruslah Membaca. Hernowo.
Salam,Agga
Setelah melakukan shalat dhuhur ke 9 di bulan Ramadhan 1429 H, Hernowo didapuk untuk menyampaikan materi ter”anyar”nya yaitu “Menulislah Agar Dirimu Mulia: Pesan dari Langit”. Buku ke 33 yang ditulisnya ini merupakan serangkaian buku tentang menulis lainnya yang sudah dituliskannya dalam usianya yang sudah memasuki kepala 4 ini.
Meskipun di Bulan Ramadhan, namun saya merasa menjadi salah satu orang yang paling beruntung untuk menyaksikan dan melihat semangatnya yang menggebu-gebu dalam menyampaikan materi yang ia tulis tersebut. Bahkan, sampai sekarang Hernowo Tak pernah berhenti dalam memberikan wawasan kepada setiap orang yang dijumpainya dalam setiap training atau ceramahnya. Ya, materi yang disampaikannya sebagian besar adalah tentang membaca dan menulis.
Dalam pemaparannya Hernowo mengungkapkan tentang pentingnya membaca. Kenapa Penting? Karena banyak orang yang menganggap bahwa kegiatan membaca itu dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan tidak luar biasa, dahsyatnya membaca ini menurutnya jarang disentuh -terutama untuk orang-orang yang awam. Padahal wahyu pertama yang turun dari Allah kepada Rasulullah Saw adalah surat Al-'Alaq, yaitu Iqra.... (Bacalah).
Kalo saja kita sering meluangkan waktu, banyak hal yang dapat dimanfaatkan dengan membaca. Karena banyak sekali buku yang dengan jenis fiksi dan non fiksi (novel, biografi, sains fiction, psikologi, filsafat dll), yang memberikan dan menawarkan sesuatu yang baru. Begitu juga bagi Mas Hernowo. Dalam bukunya ini, beliau banyak menuliskan buku-buku dan para penulis yang mempengaruhinya. Ada Quantum Learning, Laskar Pelangi dgn Andrea Hirata, Harry Potter dgn JK Rowling, Dr. Howard Garrdner dengan teori Multiple Intelliegences, Rhenald Kasali, R.T. Kiyosaki, Stephen R. Covey dll. Ia merasa seperti diajak mengembara ke tempat-tempat yang jauh, dan memiliki banyak sekali kehidupan.
Menurut Edward Coffey -yang saya kutip dari buku membacalah Agar dirimu Mulia-
Kegiatan membaca yang dpt diselenggarakan secara kontinyu dan konsisten dapat menciptakan lapisan penyangga yang melindungi dan mengganti-rugi perubahan otak. Oleh karenanya proses membaca itu dapat menggantikan sel-sel yang mati di dalam otak kita karena tidak pernah dipergunakan, untuk kemudian menjadi sel baru yang lebih hidup.
Ketika Mas Hernowo memberitahukan tentang minat baca di Indonesia yang masih nol persen, salah seorang Audience di Mesjid Bio Farma merasa getir. Ia yang pernah merasakan hidup di Negeri Sakura, terkagum-kagum melihat semangat membaca masyarakat Jepang. Karena setiap hari, setiap saat, setiap orang yang ditemuinya, benar-benar tidak dapat dilepaskan dari buku. Dari mulai anak-anak sampai dengan orang dewasa. Dari mulai mengantri untuk mendapatkan kereta, menunggu panggilan di tempat praktek dokter, sampai dengan menunggu tibanya kereta di tujuan. Setiap orang terlihat bersemangat dalam membaca.
Budaya baca di Indonesia makin tergerus oleh media-media elektronik yang terus menerus menggempur kita. Bahkan dengan terus berkembangnya arus informasi serta teknologi, maka kebanyakan kita belum siap untuk mengantisipasinya. Seperti teknologi televisi misalnya, para pemilik stasiun televisi berlomba-lomba untuk mendapatkan jatah kue iklan untuk masing-masing stasiun tv-nya. Bahkan seringkali, banyak program tayangan mereka yang tidak mendidik. Kita-lah (para orangtua, para pendidik dan yang lainnya) yang harus memiliki filter agar mengalihkan kenikmatan menonton dengan kenikmatan membaca. Karena membaca -menurut mas Hernowo - adalah sebuah keterampilan sebagaimana memasak atau juga menyetir mobil. Dengan membiasakan membaca setiap hari selama 10-15 menit, tentunya kemampuan membaca kita akan terus meningkat.
Akhirnya setiap diri kita dituntut untuk dapat merasakan efek dahsyat dari membaca ini. Dan di dalam buku Membacalah Agar Dirimu Mulia ini, Hernowo memberikan semua informasi yang kita butuhkan tentang membaca. Bahkan saya sendiri merasa sedang kembali di charge untuk mengembalikan kenikmatan-kenikmatan itu agar kembali bersarang di dalam jiwa saya, sehingga dipenuhi oleh gairah-gairah membara.
Rayakanlah Kegiatan Membaca Anda.Berbanggalah Bahwa Diri Anda. Telah Menjalankan Kegiatan Yang Mulia. Teruslah Membaca. Hernowo.
Salam,Agga
Jumat, 12 September 2008
Cara Mencapai Puncak Tujuan Membaca
TIMBANGAN BUKU
Sumber : Harian Kompas 2007
Oleh ONI SURYAMAN
Membaca adalah symbol sebuah peradaban. Ia membedakan peradaban maju dengan primitive, antara Negara maju dan Negara berkembang. Melihat begitu pentingnya membaca, ia pun dijadikan salah satu indeks bagi pembangunan manusia, yang sering dijadikan ukuran keberhasilan pembangunan sebuah Negara.
Membaca memiliki tiga fungsi. Pertama, memberikan informasi, misalnya dengan membaca Koran dan majalah. Yang kedua, memberikan hiburan, misalnya dengan membaca novel. Yang ketiga, yang paling penting tetapi sekaligus paling sulit, memberikan pengertian. Sebuah buku bisa saja memberikan pengertian sekaligus menghibur dan memberikan informasi.
Modernisasi telah menawarkan substitusi bagi kegiatan membaca, dengan lahirnya media audio-visual. Kehadiran audio-visual membuat informasi menjadi lebih “nyata” ketimbang membaca, tetapi di lain pihak mengurangi bahkan meniadakan daya cerna pemirsa. Sesuatu yang mutlak dibutuhkan dalam membaca untuk mencari pengertian.
Dalam keadaan seperti inilah buku ini hadir, mengingatkan kita akan pentingnya membaca untuk mencari pengertian dan mengajari kita bagaimana melakukannya. Membaca seperti inilah yang menjadi tonggak peradaban.
Pendidikan seumur hidup
Membaca mendapatkan pengertian adalah pendidikan seumur hidup secara intelektual. Sekolah semestinya mengajarkan hal ini secara berjenjang. Dengan demikian, setelah lulus dari sekolah lanjutan, seseorang sudah bisa menikmati dan memahami hamper semua bacaan, dan menjadi pembelajar seumur hidup.
Namun kenyataannya jauh panggang dari api. Banyak mahasiswa yang masih kesulitan membaca di level ini, bahkan sarjana pun masih banyak yang kedodoran. Akibatnya mereka berhenti belajar, begitu selesai dari sekolah
Manfaat sesungguhnya dari membaca pun disia-siakan, menjadi sekadar untuk membaca buku teks, Koran, bukan untuk membaca buku. Ini terbukti dari angka penjualan buku non-fiksi, khususnya sains, baik ilmu alam maupun ilmu social, yang masih rendah. Hal ini tidak berimbang dengan oplah surat kabar, majalah, dan buku fiksi yang jauh lebih tinggi. Inilah bukti bahwa orang baru bisa menikmati bacaan untuk informasi dan hiburan, belum untuk menemukan pengertian.
Tahapan Membaca
Buku ini menjelaskan cara meningkatkan kemampuan membaca secara berjenjang: membaca dasar, inspeksional, analitis, dan sintopikal (tematis), dan juga sejumlah tes sesuai jenjang itu. Tahapan-tahapan ini harus dijalani secara beruntun karena tidak mungkin untuk maju ke tahap berikut tanpa menguasai tahapan sebelumnya.
Tingkat yang pertama adalah membaca dasar, yang semua kita sudah kuasai, yaitu mengeja, membaca kata dan kalimat menerjemahkan symbol menjadi sebuah bunyi yang bermakna. Membaca tingkat ini semestinya dikuasai seseorang sesudah menamatkan sekolah dasar. Ini ditandai dengan kemampuan membaca yang lancer tanpa patah-patah, dan kemampuan membaca di dalam hati (silint reading).
Bagian berikutnya adalah membaca inspeksional. Sekilas membaca inspeksional dapat disamakan dengan membaca cepat. Namun, bukan itu yang dimaksud buku ini. Membaca inspeksional adalah membaca sekilas, atau selayang pandang, secara sistematis sambil mengajukan pertanyaan kepada teks yang kit abaca dan berusaha menjawabnya selagi kita membaca.
Ada dua manfaat yang bisa didapat dari membaca sekilas ini. Yang pertama, untuk menentukan apakah buku itu layak atau tidak untuk kit abaca secara lebih mendalam. Dalam contoh praktisnya adalah untuk menentukan apakah buku itu layak kita beli atau pinjam. Yang kedua adalah mendapatkan ide dasar dari buku tersebut, tanpa harus mendalami detailnya. Ini sangat membantu jika nantinya kita mau mendalami buku ini lebih lanjut, atau kalau kita sekadar ingin tahu garis besar buku tersebut.
Dalam level ini juga kita belajar bagaimana membuat catatan kaki, coretan-coretan, yang nantinya akan membantu kalau ingin membaca buku tersebut secara lebih mendalam. Beberapa tips menarik diberikan untuk membantu memilih bahan bacaan yang baik.
Orang sering terjebak pada level ini, yaitu membaca cepat, karena menganggap inilah level pencapaian tertinggi dalam membaca. Adler menunjukkan bahwa membaca buku seharusnya dengan kecepatan yang sesuai. Buku atau bagian bacaan yang seharusnya dibaca dengan cepat jika kit abaca dengan perlahan akan menghabiskan waktu dengan percuma.
Berikutnya adalah membaca analitis. Inilah membaca dalam arti sesungguhnya. Dalam tahap ini kita “mengunyah dan mencerna” bacaan, menjadikannya bagian dari diri kita. Keterampilan tahap ini seharusnya dimiliki para lulusan SMA dan atau S1. Ia bisa menyarikan, memaparkan kembali, maupun mengkritik sebuah bacaan.
Teknik membaca analitis menduduki porsi terbanyak di dalam buku ini karena pada tahapan inilah membaca menjadi aktivitas yang komprehensif, melibatkan semua upaya pikiran, dalam mendalamibacaan. Memang, membaca pada level ini akan melelahkan, tetapi hasil yang diperoleh sungguh sebanding dengan upaya yang dicurahkan.
Dan terkahir adalah membaca sintopikal, membaca beberapa buku dalam tema yang sama, membandingkan, menganalisis, menyintesis, mereka menjadi sebuah ide yang baru. Kemampuan ini semestinya dimiliki seorang sarjana karena menulis skripsi berdasarkan studi kepustakaan sangat memerlukan keterampilan membaca level ini.
Puncaknya, Adler mengajak pembaca untuk terus menerus meningkatkan kemampuan membaca mereka dengan merekomendasikan sejumlah judul buku yang “layak” dibaca, dan memaparkan manfaat membaca bagi pertumbuhan otak.
Pendidikan “liberal arts”
Sesungguhnya Adler menyusun buku ini di dalam kerangka pendidikan liberal arts yang tidak lagi menjadi warna utama dalam pendidikan, seperti pada beberapa abad lampau. Ini adalah pendidikan generalis, yaitu menguasai kecakapan intelektual dasar agar dapat memahami dan mendalamisenua bidang ilmu.
Pada abad pertengahan seorang sarjana atau baccalaureate menguasai tiga kemampuan liberal arts yang disebut trivium, yaitu gramatika, logika dan retorika, dan empat kemampuan berikutnya yang disebut quadrivium, yaitu aritmatika, musik, geometri, dan astronomi.
Pendidikan saat itu belum menjadi spesialis seperti sekarang. Spesialisai memberikan kemajuan cepat yang bisa kita nikmati, tetapi juga membuat kita kehilangan kemanusiaan, yang bisa dicapai dengan menjadi seorang generalis.
Adler adalah pembelajar mandiri. Ia menjalani pendidikan klasik secara otodidak, setelah drop-out dari sekolah menengah. Ia kuliah di Universitas Columbia sampai akhirnya dianugerahi gelar doctor filsafat, lalu mengajar filsafat di Universitas Chicago. Bersama dengan Robert M Hutchins mereka menjadi pilar liberal arts modern.
Mereka membuat proyek Great Books of Western Civilizations yang merangkum karya-karya litertur, sains, social sains dan filsafat yang paling berpengaruh dalam peradaban Barat, serta mengompilasinya sehingga bisa diakses oleh pembaca awam. Sesudah membacanya, seseorang diharapkan terlibat dalam Great Conversation, urun rembuk dalam perkembangan peradaban dunia.
Buku ini adalah gerbang studi mandiri seumur hidup bagi siapa pun yang ingin mendalami bidang apa saja: sastra, filsafat, sejarah, ilmu alam, ilmu social, matematika, dan lain-lain. Studi seperti ini bisa dijalani oleh siapa saja, yang berniat dan mau berusaha. Darisinilah diharapkan muncul kelas menengah terdidik, yang menjadi pilar dari sebuah Negara demokrasi yang kokoh.
Mungkin, itulah sebabnya Jaques Barzun, seorang budayawan, ilmuan dan pendidik besar Amerika menyebut buku ini “wajib dibaca bagi aiapa pun yang peduli masa depan budaya bangsanya”. Gus Dur menyebut buku ini “sebuah contoh terbaik karya kreatif… yang memampukan kita memahami masalah secara berimbang”. ONI SURYAMA, Cak Tarno Institut
Sumber : Harian Kompas 2007
Oleh ONI SURYAMAN
Membaca adalah symbol sebuah peradaban. Ia membedakan peradaban maju dengan primitive, antara Negara maju dan Negara berkembang. Melihat begitu pentingnya membaca, ia pun dijadikan salah satu indeks bagi pembangunan manusia, yang sering dijadikan ukuran keberhasilan pembangunan sebuah Negara.
Membaca memiliki tiga fungsi. Pertama, memberikan informasi, misalnya dengan membaca Koran dan majalah. Yang kedua, memberikan hiburan, misalnya dengan membaca novel. Yang ketiga, yang paling penting tetapi sekaligus paling sulit, memberikan pengertian. Sebuah buku bisa saja memberikan pengertian sekaligus menghibur dan memberikan informasi.
Modernisasi telah menawarkan substitusi bagi kegiatan membaca, dengan lahirnya media audio-visual. Kehadiran audio-visual membuat informasi menjadi lebih “nyata” ketimbang membaca, tetapi di lain pihak mengurangi bahkan meniadakan daya cerna pemirsa. Sesuatu yang mutlak dibutuhkan dalam membaca untuk mencari pengertian.
Dalam keadaan seperti inilah buku ini hadir, mengingatkan kita akan pentingnya membaca untuk mencari pengertian dan mengajari kita bagaimana melakukannya. Membaca seperti inilah yang menjadi tonggak peradaban.
Pendidikan seumur hidup
Membaca mendapatkan pengertian adalah pendidikan seumur hidup secara intelektual. Sekolah semestinya mengajarkan hal ini secara berjenjang. Dengan demikian, setelah lulus dari sekolah lanjutan, seseorang sudah bisa menikmati dan memahami hamper semua bacaan, dan menjadi pembelajar seumur hidup.
Namun kenyataannya jauh panggang dari api. Banyak mahasiswa yang masih kesulitan membaca di level ini, bahkan sarjana pun masih banyak yang kedodoran. Akibatnya mereka berhenti belajar, begitu selesai dari sekolah
Manfaat sesungguhnya dari membaca pun disia-siakan, menjadi sekadar untuk membaca buku teks, Koran, bukan untuk membaca buku. Ini terbukti dari angka penjualan buku non-fiksi, khususnya sains, baik ilmu alam maupun ilmu social, yang masih rendah. Hal ini tidak berimbang dengan oplah surat kabar, majalah, dan buku fiksi yang jauh lebih tinggi. Inilah bukti bahwa orang baru bisa menikmati bacaan untuk informasi dan hiburan, belum untuk menemukan pengertian.
Tahapan Membaca
Buku ini menjelaskan cara meningkatkan kemampuan membaca secara berjenjang: membaca dasar, inspeksional, analitis, dan sintopikal (tematis), dan juga sejumlah tes sesuai jenjang itu. Tahapan-tahapan ini harus dijalani secara beruntun karena tidak mungkin untuk maju ke tahap berikut tanpa menguasai tahapan sebelumnya.
Tingkat yang pertama adalah membaca dasar, yang semua kita sudah kuasai, yaitu mengeja, membaca kata dan kalimat menerjemahkan symbol menjadi sebuah bunyi yang bermakna. Membaca tingkat ini semestinya dikuasai seseorang sesudah menamatkan sekolah dasar. Ini ditandai dengan kemampuan membaca yang lancer tanpa patah-patah, dan kemampuan membaca di dalam hati (silint reading).
Bagian berikutnya adalah membaca inspeksional. Sekilas membaca inspeksional dapat disamakan dengan membaca cepat. Namun, bukan itu yang dimaksud buku ini. Membaca inspeksional adalah membaca sekilas, atau selayang pandang, secara sistematis sambil mengajukan pertanyaan kepada teks yang kit abaca dan berusaha menjawabnya selagi kita membaca.
Ada dua manfaat yang bisa didapat dari membaca sekilas ini. Yang pertama, untuk menentukan apakah buku itu layak atau tidak untuk kit abaca secara lebih mendalam. Dalam contoh praktisnya adalah untuk menentukan apakah buku itu layak kita beli atau pinjam. Yang kedua adalah mendapatkan ide dasar dari buku tersebut, tanpa harus mendalami detailnya. Ini sangat membantu jika nantinya kita mau mendalami buku ini lebih lanjut, atau kalau kita sekadar ingin tahu garis besar buku tersebut.
Dalam level ini juga kita belajar bagaimana membuat catatan kaki, coretan-coretan, yang nantinya akan membantu kalau ingin membaca buku tersebut secara lebih mendalam. Beberapa tips menarik diberikan untuk membantu memilih bahan bacaan yang baik.
Orang sering terjebak pada level ini, yaitu membaca cepat, karena menganggap inilah level pencapaian tertinggi dalam membaca. Adler menunjukkan bahwa membaca buku seharusnya dengan kecepatan yang sesuai. Buku atau bagian bacaan yang seharusnya dibaca dengan cepat jika kit abaca dengan perlahan akan menghabiskan waktu dengan percuma.
Berikutnya adalah membaca analitis. Inilah membaca dalam arti sesungguhnya. Dalam tahap ini kita “mengunyah dan mencerna” bacaan, menjadikannya bagian dari diri kita. Keterampilan tahap ini seharusnya dimiliki para lulusan SMA dan atau S1. Ia bisa menyarikan, memaparkan kembali, maupun mengkritik sebuah bacaan.
Teknik membaca analitis menduduki porsi terbanyak di dalam buku ini karena pada tahapan inilah membaca menjadi aktivitas yang komprehensif, melibatkan semua upaya pikiran, dalam mendalamibacaan. Memang, membaca pada level ini akan melelahkan, tetapi hasil yang diperoleh sungguh sebanding dengan upaya yang dicurahkan.
Dan terkahir adalah membaca sintopikal, membaca beberapa buku dalam tema yang sama, membandingkan, menganalisis, menyintesis, mereka menjadi sebuah ide yang baru. Kemampuan ini semestinya dimiliki seorang sarjana karena menulis skripsi berdasarkan studi kepustakaan sangat memerlukan keterampilan membaca level ini.
Puncaknya, Adler mengajak pembaca untuk terus menerus meningkatkan kemampuan membaca mereka dengan merekomendasikan sejumlah judul buku yang “layak” dibaca, dan memaparkan manfaat membaca bagi pertumbuhan otak.
Pendidikan “liberal arts”
Sesungguhnya Adler menyusun buku ini di dalam kerangka pendidikan liberal arts yang tidak lagi menjadi warna utama dalam pendidikan, seperti pada beberapa abad lampau. Ini adalah pendidikan generalis, yaitu menguasai kecakapan intelektual dasar agar dapat memahami dan mendalamisenua bidang ilmu.
Pada abad pertengahan seorang sarjana atau baccalaureate menguasai tiga kemampuan liberal arts yang disebut trivium, yaitu gramatika, logika dan retorika, dan empat kemampuan berikutnya yang disebut quadrivium, yaitu aritmatika, musik, geometri, dan astronomi.
Pendidikan saat itu belum menjadi spesialis seperti sekarang. Spesialisai memberikan kemajuan cepat yang bisa kita nikmati, tetapi juga membuat kita kehilangan kemanusiaan, yang bisa dicapai dengan menjadi seorang generalis.
Adler adalah pembelajar mandiri. Ia menjalani pendidikan klasik secara otodidak, setelah drop-out dari sekolah menengah. Ia kuliah di Universitas Columbia sampai akhirnya dianugerahi gelar doctor filsafat, lalu mengajar filsafat di Universitas Chicago. Bersama dengan Robert M Hutchins mereka menjadi pilar liberal arts modern.
Mereka membuat proyek Great Books of Western Civilizations yang merangkum karya-karya litertur, sains, social sains dan filsafat yang paling berpengaruh dalam peradaban Barat, serta mengompilasinya sehingga bisa diakses oleh pembaca awam. Sesudah membacanya, seseorang diharapkan terlibat dalam Great Conversation, urun rembuk dalam perkembangan peradaban dunia.
Buku ini adalah gerbang studi mandiri seumur hidup bagi siapa pun yang ingin mendalami bidang apa saja: sastra, filsafat, sejarah, ilmu alam, ilmu social, matematika, dan lain-lain. Studi seperti ini bisa dijalani oleh siapa saja, yang berniat dan mau berusaha. Darisinilah diharapkan muncul kelas menengah terdidik, yang menjadi pilar dari sebuah Negara demokrasi yang kokoh.
Mungkin, itulah sebabnya Jaques Barzun, seorang budayawan, ilmuan dan pendidik besar Amerika menyebut buku ini “wajib dibaca bagi aiapa pun yang peduli masa depan budaya bangsanya”. Gus Dur menyebut buku ini “sebuah contoh terbaik karya kreatif… yang memampukan kita memahami masalah secara berimbang”. ONI SURYAMA, Cak Tarno Institut
Sabtu, 06 September 2008
PENGGABUNGAN SUARA PARTAI, PERLU ITU
Oleh Aminuddin Siregar
Indonesia, seperti halnya negara-negara yang menganut sistem multi partai, pembentukan koalisi partai, bukanlah suatu dosa politik, melainkan suatu langkah positif dan biasa terjadi dalam setiap kehidupan politik. Jadi pendeklarasian koalisi kebangsaan yang diprakarsai partai Golkar, boleh-boleh saja. Biasanya, koalisi diperlukan ketika pemerintahan menghadapi situasi gawat dan dianggap membahayakan negara. Walaupun tidak tertutup kemungkinan untuk maksud mencapai tujuan lain oleh pihak yang berkoalisi.
Benar, bahwa pelaksanaan koalisi partai ini, memang tidak semudah yang dibayangkan, lantaran banyak ganjalan, rintangan dan hambatan politik termasuk hadirnya pressure dari segala arah penjuru politik. Karena itu dalam pembentukan koalisi dibutuhkan energi yang tidak sedikit. Dibutuhkan kekuatan massa pendukung yang besar, perlu komunikasi politik, sekaligus tindakan-tindakan simbolis, seperti menggalang pertemuan. Termasuk di dalamnya kekuatan electoral college, yang akan menentukan derajat pembuatan konsensus politik.
Dengan kata lain, pembentukan koalisi sangat mungkin dilakukan baik oleh partai maupun oleh kekuatan lain yang mempunyai tujuan yang sama. Termasuk untuk mengumpulkan suara partai dalam pemenangan pemilihan umum (pemilu) presiden maupun untuk maksud pembentukan kabinet atau untuk mengisi posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Pemerintahan koalisi inilah yang seringkali dibentuk atas dasar kesepakatan berbagi kekuasaan antar kekuatan politik yang ada.
Dalam kontes itu, proses berkoalisi selain melibatkan banyak pemimpin politik atau elit politik dari berbagai unsur. Juga hampir dapat dipastikan adanya keterlibatan tokoh politik yang berpengaruh kuat dalam kehidupan masyarakat. Sebab mereka inilah antara lain yang dianggap mampu mendorong terjadinya proses reformasi. Biasanya mereka ini juga adalah orang-orang yang memiliki kredibilitas politik yang baik, di mana pernyataan-pernyataan mereka selalu mendapat perhatian dari khalayak ramai.
Selain itu, kekuatan posisi tawar partai politik juga akan sangat mempengaruhi bagi kelangsungan koalisi partai. Karena di dalam setiap langkah politik yang dilakukan partai, hitungan politiknya mestilah jelas benar. Tidak ada satu hal pun yang tertinggal atau mungkin terlupakan, ketika tawaran politik diajukan. Soal siapa yang melakukannya memang bisa saja bukan ketua umum partai. Tetapi, lazimnya peranan ketua partai sangatlah menentukan sepak terjang dan langkah politik partai ke depan.
Persoalannya, apakah melalui koalisi partai ini calon presiden akan memperoleh suara mayoritas, sementara pemilihan langsung, kelihatannya tidak mengikat setiap anggota partai dalam menetapkan pilihannya ? Koalisi tentu saja sah-sah saja adanya, dan mungkin ada semacam keharusan bagi suatu partai politik untuk melakukannya. Sebab untuk membentuk koalisi berarti dapat mempertegas keberadaan partai baik diparlemen maupun dikursi kabinet.
Bahaya Politis
Pemilihan umum presiden secara langsung, bagaimanapun juga akan tetap menimbulkan dampak dan bahaya politis terhadap perpolitikan kita. Meskipun tidak menjadi ancaman serius bagi partai. Salah satunya mungkin akan terjadi kemerosotan loyalitas terhadap partai, lantaran kecenderungan yang terjadi adalah kuatnya faktor figur dalam menentukan pilihan. Jadi biasa saja saat ini figur yang disukai khalayak pemilih adalah figur yang bukan didukung oleh partai dalam koalisi. Sehingga agak sulit memastikan lantaran tidak adanya jaminan kuat, bahwa seorang pemilih akan sama dengan yang digariskan oleh partai.
Contoh konkret dari hal itu ialah adanya Dewan Pimpinan Daerah yang menyatakan tampil beda dalam hal memberi dukungan. Ada pula dengan kesedian memberi dukungan dengan sejumlah syarat. Tentu saja ini juga merupakan kalkulasi untung rugi politik, yang memang mesti dinyatakan secara terbuka. Itulah sebabnya mengapa negosiasi politik juga sah saja dilakukan. Begitu juga untuk mengadakan kolaborasi politik. Termasuk untuk membentuk koalisi partai.
Kalau itu tidak dilakukan, maka pertanyaannya ialah buat apa memdirikan partai politik kalau bukan untuk berbagi kekuasaan. Mustahil suatu partai politik tidak berharap adanya pembagian kekuasaan itu. Apalagi partai besar seperti partai Golkar, wajar sajalah kalau misalnya Mega-Akbar membuat suatu konsensus, agar kader-kader partai memperoleh posisi dipemerintahan, kalau ternyata lawan politik yang jadi pemenang itu sungguh-sungguh terpilih.
Itulah dunia politik, yang walau katanya penuh misteri. Hanya saja yang kita tidak suka ialah bila di dalam berbagi kekuasaan itu, ternyata yang muncul ialah hasrat berkuasa yang kemudian bertindak dan berbuat semena-mena dan tidak memperdulikan rakyat banyak ini. Bahwa kebanyakan dari kita manusia ini justru seringkali menjadi pongah sesudah diberi mandat oleh rakyatnya. Banyak kejadian lupa kacang dikulitnya, kesudahannya politik itu menjadi coreng moreng.
Tentu saja harapan kita, politisi yang dukduk diparlemen hasil pilihan kita secara langsung adalah orang-orang yang memang pantas mewakili kita. Termasuk kelayakan mereka sebagai politisi yang mempunyai orientasi memajukan rakyat. Begitu juga para politisi yang misalnya duduk di kursi-kursi kabinet. Mudah-mudahan saja adalah orang-orang profesional dan punya kompetensi bukan saja kepolitikan tetapi juga kompetensi kerakyatan.
Mereka itu juga kita harapkan adalah figur-figur yang tidak cuma memenuhi hasrat kekuasaannya tetapi adalah yang benar-benar dan sungguh-sungguh tulus mempunyai komitmen memperbaiki nasib seluruh rakyat Indonesia, peduli terhadap nasib bangsa, dan nestapa kemanusiaan. Sebab reformasi menyeluruh itu tidak cuma menuntut perubahan paradigma tetapi juga menuntut perubahan pola perilaku yang lebih santun, lugas, dan manusiawi.
Koalisi
Mengisi jabatan-jabatn strategis atau kursi-kursi kabinet hasil koalisi, sudah tentu akan ditempati oleh sejumlah politisi dari berbagai partai politik yang ada. Gabungan dari mereka yang berasal dari partai inilah kemudian terbentuk koalisi pemerintahan. Di mana warna pemerintahan tidak ditentukan oleh satu partai berkuasa. Tetapi ditentukan oleh banyak partai yang mempunyai tujuan sama. Kemudian dikenal dengan pemerintahan koalisi.
Sementara pemerintahan koalisi ini juga biasa saja muncul dari gabungan kekuatan sipil dan militer. Hal terakhir ini lebih menekankan pada penggabungan sejumlah orang dalam kabinet secara berimbang. Fungsi penyeimbang ini pulalah kemudian yang memberi makna pada Dwifungsi TNI. Namun sayangnya melalui Dwifungsi TNI itu pula muncul anggapan melebarnya fungsi politik militer dalam kehidupan pemerintahan dan negara. Hal ini yang seringkali dipersepsi secara tidak sama, sehingga kehadiran Dwifungsi TNI menghadirkan antipati. Sebab yang tidak disukai ialah penerapan doktrin Dwifungsi TNI, dengan mengatasnamakan korps TNI lengkap dengan segala atribut kemiliterannya.
Padahal maksud dari pada Dwifungsi TNI, (dulu Dwifungsi-ABRI) hanyalah merupakan kekuatan penyeimbang. Sehingga pemerintahan tidak didomisasi oleh orang-orang dari kalangan militer, tetapi diusahakan agar peranan masing-masing berjalan secara proporsional. Kalau kemudian ternyata diselewengkan, maka hal inilah yang perlu sama-sama kita benahi kembali. Sehingga militer tidak melibatkan institusi TNI, masuk kebidang-bidang politik lebih luas. Ini pula agaknya perlu di persepsi secara sama.
Dalam kontek koalisi parta, selain untuk memngumpulkan perolehan suara mayoritas, juga akan ada sejumlah orang dari partai yang berbeda menduduki posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Biasanya suatau partai politik yang memilih berkoalisi tidak akan menjadi opposan terhadap pemerintah, lantaran orang-orang dari partai politik yang berkoalisi juga terlibat dalam menjalankan kebijakan pemerintahan.
Baik pemerintahan koalisi, maupun partai koalisi, sama-sama merupakan hasil dari suatu penggabungan suara partai-partai yang duduk di kursi eksekutif maupun yang duduk dikursi legislatif atau diparlemen. Kekuatan ini jelas, akan memperkuat suara dalam mengambil suatu keputusan politik yang dilakukan oleh pemerintah. Penggabungan suara partai-partai ini dapat dilakukan untuk misalnya mendukung kebijakan pemerintah atau menolak suatau kebijakan yang akan dilaksankan oleh pemerintah.Bilamana kebijakan itu nyata-nyata merugikan rakyat banyak. Contoh lain misalnya menolak Rancangan Undang Undang (RUU) TNI, bila memang dipandang peranan militer memasuki wilayah-wilayah yang terlalu lebar dan meluas menjalankan fungsi sosial politiknya, adalah urusan legislatif di parlemen.
Dengan adanya koreksi semacam itulah, perlu bagi pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan yang akan dimplementasikan. Termasuk meninjau ulang RUU yang diusulkan pemerintah, bila anggota Dewan tidak berkenan terhadap materi undang-undang tersebut.. dengan sejumlah orang yang akan duduk dikabinet, pemerintah mudah goyah. Koalisi partai bisa juga dilakukan dalam lembaga parlemen. Misalnya partai Golkar- PDIP bisa saja berkoalisi di lembaga perwakilan rakyat. Koalisi tiada lain ialah kombinasi dari sejumlah partai politik. Hasil dari kombinasi ini dapat menciptakan suara mayoritas. Dengan suara mayoritas jelas akan dapat memperjuangkan tujuan bersama.
Dalam konteks di atas itu, koalisi partai ini juga dimungkinkan dan bisa saja terjadi. Hanya saja bentuknya barangkali akan sangat berbeda. Kalau koalisi partai dimaksudkan untuk menggabungkan suara partai itu artinya anggota parlemen yang membentuk koalisi dapat mendukung kebijakan pemerintah. Termasuk untuk membela pemerintah bila kepentingan negara berada dalam situasi bahaya. Sehingga pemerintahan menjadi kuat karena mendapat legitimasi dari mayoritas legislatif di parlemen. Begitu kira-kira.
Penulis Bekerja Pada Pusdiklat Regional Bukittinggi
Indonesia, seperti halnya negara-negara yang menganut sistem multi partai, pembentukan koalisi partai, bukanlah suatu dosa politik, melainkan suatu langkah positif dan biasa terjadi dalam setiap kehidupan politik. Jadi pendeklarasian koalisi kebangsaan yang diprakarsai partai Golkar, boleh-boleh saja. Biasanya, koalisi diperlukan ketika pemerintahan menghadapi situasi gawat dan dianggap membahayakan negara. Walaupun tidak tertutup kemungkinan untuk maksud mencapai tujuan lain oleh pihak yang berkoalisi.
Benar, bahwa pelaksanaan koalisi partai ini, memang tidak semudah yang dibayangkan, lantaran banyak ganjalan, rintangan dan hambatan politik termasuk hadirnya pressure dari segala arah penjuru politik. Karena itu dalam pembentukan koalisi dibutuhkan energi yang tidak sedikit. Dibutuhkan kekuatan massa pendukung yang besar, perlu komunikasi politik, sekaligus tindakan-tindakan simbolis, seperti menggalang pertemuan. Termasuk di dalamnya kekuatan electoral college, yang akan menentukan derajat pembuatan konsensus politik.
Dengan kata lain, pembentukan koalisi sangat mungkin dilakukan baik oleh partai maupun oleh kekuatan lain yang mempunyai tujuan yang sama. Termasuk untuk mengumpulkan suara partai dalam pemenangan pemilihan umum (pemilu) presiden maupun untuk maksud pembentukan kabinet atau untuk mengisi posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Pemerintahan koalisi inilah yang seringkali dibentuk atas dasar kesepakatan berbagi kekuasaan antar kekuatan politik yang ada.
Dalam kontes itu, proses berkoalisi selain melibatkan banyak pemimpin politik atau elit politik dari berbagai unsur. Juga hampir dapat dipastikan adanya keterlibatan tokoh politik yang berpengaruh kuat dalam kehidupan masyarakat. Sebab mereka inilah antara lain yang dianggap mampu mendorong terjadinya proses reformasi. Biasanya mereka ini juga adalah orang-orang yang memiliki kredibilitas politik yang baik, di mana pernyataan-pernyataan mereka selalu mendapat perhatian dari khalayak ramai.
Selain itu, kekuatan posisi tawar partai politik juga akan sangat mempengaruhi bagi kelangsungan koalisi partai. Karena di dalam setiap langkah politik yang dilakukan partai, hitungan politiknya mestilah jelas benar. Tidak ada satu hal pun yang tertinggal atau mungkin terlupakan, ketika tawaran politik diajukan. Soal siapa yang melakukannya memang bisa saja bukan ketua umum partai. Tetapi, lazimnya peranan ketua partai sangatlah menentukan sepak terjang dan langkah politik partai ke depan.
Persoalannya, apakah melalui koalisi partai ini calon presiden akan memperoleh suara mayoritas, sementara pemilihan langsung, kelihatannya tidak mengikat setiap anggota partai dalam menetapkan pilihannya ? Koalisi tentu saja sah-sah saja adanya, dan mungkin ada semacam keharusan bagi suatu partai politik untuk melakukannya. Sebab untuk membentuk koalisi berarti dapat mempertegas keberadaan partai baik diparlemen maupun dikursi kabinet.
Bahaya Politis
Pemilihan umum presiden secara langsung, bagaimanapun juga akan tetap menimbulkan dampak dan bahaya politis terhadap perpolitikan kita. Meskipun tidak menjadi ancaman serius bagi partai. Salah satunya mungkin akan terjadi kemerosotan loyalitas terhadap partai, lantaran kecenderungan yang terjadi adalah kuatnya faktor figur dalam menentukan pilihan. Jadi biasa saja saat ini figur yang disukai khalayak pemilih adalah figur yang bukan didukung oleh partai dalam koalisi. Sehingga agak sulit memastikan lantaran tidak adanya jaminan kuat, bahwa seorang pemilih akan sama dengan yang digariskan oleh partai.
Contoh konkret dari hal itu ialah adanya Dewan Pimpinan Daerah yang menyatakan tampil beda dalam hal memberi dukungan. Ada pula dengan kesedian memberi dukungan dengan sejumlah syarat. Tentu saja ini juga merupakan kalkulasi untung rugi politik, yang memang mesti dinyatakan secara terbuka. Itulah sebabnya mengapa negosiasi politik juga sah saja dilakukan. Begitu juga untuk mengadakan kolaborasi politik. Termasuk untuk membentuk koalisi partai.
Kalau itu tidak dilakukan, maka pertanyaannya ialah buat apa memdirikan partai politik kalau bukan untuk berbagi kekuasaan. Mustahil suatu partai politik tidak berharap adanya pembagian kekuasaan itu. Apalagi partai besar seperti partai Golkar, wajar sajalah kalau misalnya Mega-Akbar membuat suatu konsensus, agar kader-kader partai memperoleh posisi dipemerintahan, kalau ternyata lawan politik yang jadi pemenang itu sungguh-sungguh terpilih.
Itulah dunia politik, yang walau katanya penuh misteri. Hanya saja yang kita tidak suka ialah bila di dalam berbagi kekuasaan itu, ternyata yang muncul ialah hasrat berkuasa yang kemudian bertindak dan berbuat semena-mena dan tidak memperdulikan rakyat banyak ini. Bahwa kebanyakan dari kita manusia ini justru seringkali menjadi pongah sesudah diberi mandat oleh rakyatnya. Banyak kejadian lupa kacang dikulitnya, kesudahannya politik itu menjadi coreng moreng.
Tentu saja harapan kita, politisi yang dukduk diparlemen hasil pilihan kita secara langsung adalah orang-orang yang memang pantas mewakili kita. Termasuk kelayakan mereka sebagai politisi yang mempunyai orientasi memajukan rakyat. Begitu juga para politisi yang misalnya duduk di kursi-kursi kabinet. Mudah-mudahan saja adalah orang-orang profesional dan punya kompetensi bukan saja kepolitikan tetapi juga kompetensi kerakyatan.
Mereka itu juga kita harapkan adalah figur-figur yang tidak cuma memenuhi hasrat kekuasaannya tetapi adalah yang benar-benar dan sungguh-sungguh tulus mempunyai komitmen memperbaiki nasib seluruh rakyat Indonesia, peduli terhadap nasib bangsa, dan nestapa kemanusiaan. Sebab reformasi menyeluruh itu tidak cuma menuntut perubahan paradigma tetapi juga menuntut perubahan pola perilaku yang lebih santun, lugas, dan manusiawi.
Koalisi
Mengisi jabatan-jabatn strategis atau kursi-kursi kabinet hasil koalisi, sudah tentu akan ditempati oleh sejumlah politisi dari berbagai partai politik yang ada. Gabungan dari mereka yang berasal dari partai inilah kemudian terbentuk koalisi pemerintahan. Di mana warna pemerintahan tidak ditentukan oleh satu partai berkuasa. Tetapi ditentukan oleh banyak partai yang mempunyai tujuan sama. Kemudian dikenal dengan pemerintahan koalisi.
Sementara pemerintahan koalisi ini juga biasa saja muncul dari gabungan kekuatan sipil dan militer. Hal terakhir ini lebih menekankan pada penggabungan sejumlah orang dalam kabinet secara berimbang. Fungsi penyeimbang ini pulalah kemudian yang memberi makna pada Dwifungsi TNI. Namun sayangnya melalui Dwifungsi TNI itu pula muncul anggapan melebarnya fungsi politik militer dalam kehidupan pemerintahan dan negara. Hal ini yang seringkali dipersepsi secara tidak sama, sehingga kehadiran Dwifungsi TNI menghadirkan antipati. Sebab yang tidak disukai ialah penerapan doktrin Dwifungsi TNI, dengan mengatasnamakan korps TNI lengkap dengan segala atribut kemiliterannya.
Padahal maksud dari pada Dwifungsi TNI, (dulu Dwifungsi-ABRI) hanyalah merupakan kekuatan penyeimbang. Sehingga pemerintahan tidak didomisasi oleh orang-orang dari kalangan militer, tetapi diusahakan agar peranan masing-masing berjalan secara proporsional. Kalau kemudian ternyata diselewengkan, maka hal inilah yang perlu sama-sama kita benahi kembali. Sehingga militer tidak melibatkan institusi TNI, masuk kebidang-bidang politik lebih luas. Ini pula agaknya perlu di persepsi secara sama.
Dalam kontek koalisi parta, selain untuk memngumpulkan perolehan suara mayoritas, juga akan ada sejumlah orang dari partai yang berbeda menduduki posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Biasanya suatau partai politik yang memilih berkoalisi tidak akan menjadi opposan terhadap pemerintah, lantaran orang-orang dari partai politik yang berkoalisi juga terlibat dalam menjalankan kebijakan pemerintahan.
Baik pemerintahan koalisi, maupun partai koalisi, sama-sama merupakan hasil dari suatu penggabungan suara partai-partai yang duduk di kursi eksekutif maupun yang duduk dikursi legislatif atau diparlemen. Kekuatan ini jelas, akan memperkuat suara dalam mengambil suatu keputusan politik yang dilakukan oleh pemerintah. Penggabungan suara partai-partai ini dapat dilakukan untuk misalnya mendukung kebijakan pemerintah atau menolak suatau kebijakan yang akan dilaksankan oleh pemerintah.Bilamana kebijakan itu nyata-nyata merugikan rakyat banyak. Contoh lain misalnya menolak Rancangan Undang Undang (RUU) TNI, bila memang dipandang peranan militer memasuki wilayah-wilayah yang terlalu lebar dan meluas menjalankan fungsi sosial politiknya, adalah urusan legislatif di parlemen.
Dengan adanya koreksi semacam itulah, perlu bagi pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan yang akan dimplementasikan. Termasuk meninjau ulang RUU yang diusulkan pemerintah, bila anggota Dewan tidak berkenan terhadap materi undang-undang tersebut.. dengan sejumlah orang yang akan duduk dikabinet, pemerintah mudah goyah. Koalisi partai bisa juga dilakukan dalam lembaga parlemen. Misalnya partai Golkar- PDIP bisa saja berkoalisi di lembaga perwakilan rakyat. Koalisi tiada lain ialah kombinasi dari sejumlah partai politik. Hasil dari kombinasi ini dapat menciptakan suara mayoritas. Dengan suara mayoritas jelas akan dapat memperjuangkan tujuan bersama.
Dalam konteks di atas itu, koalisi partai ini juga dimungkinkan dan bisa saja terjadi. Hanya saja bentuknya barangkali akan sangat berbeda. Kalau koalisi partai dimaksudkan untuk menggabungkan suara partai itu artinya anggota parlemen yang membentuk koalisi dapat mendukung kebijakan pemerintah. Termasuk untuk membela pemerintah bila kepentingan negara berada dalam situasi bahaya. Sehingga pemerintahan menjadi kuat karena mendapat legitimasi dari mayoritas legislatif di parlemen. Begitu kira-kira.
Penulis Bekerja Pada Pusdiklat Regional Bukittinggi
Sabtu, 23 Agustus 2008
Menghidupkan Sukma Demokrasi
Oleh Aminuddin Siregar
Menghidupkan sukma demokrasi bukan saja diperlukan dalam konteks pemilihan umum, melainkan juga dalam semua aspek kehidupan berpolitik baik di pusat maupun di daerah, Sukma demokrasi menjadi sangat penting keberadaannya ketika ia tuntut memberi nafas bagi kehidupan politik yang kondusif, keterturan politik dan sopan santun berdemokrasi. Awalnya gerakan pendemokrasiaan ini ialah tamatnya riwayat kediktatoran dan masuknya kekuatan civil society sembari mengambil langkah demokratisasi terhadap hamper semua bidang kehidupan.
Bahwa definisi demokrasi dalam arti pemilihan umum adalah definisi pas-pasan. Padahal demokrasi dituntut kemunculannya lebih dari sekedar itu. Demokrasi sejati berarti adanya system control yang efektif oleh warganegara terhadap kebijakan pemerintah. Musyawarah yang rasional dalam percaturan politik merupakan salah satu cara menghidupkan sukma demokrasi.
Untuk menerapkan itu memerlukan semangat idealisme yang lahir kejujuran, tanggungjawab, kedisiplinan rasa keadilan dan dengan cara-cara menjalankan kebijakan itu secara terbuka dan dapat diketahui oleh public Meski demokrasi bukan satu-satunya kebijakan public yang dianggap sebagai perluasan bagi terpenuhinya kepentingan-kepentingan rakyat, adalah sangat mungkin menghidupkan sukma demokrasi sejauh system politik itu memberi ruang gerak bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya.
Ketika pemerintah dianggap tidak bersikap demokratis, saat yang bersamaan kekuatan otoritarian bermain di dalamnya. Dalam gerakan pendemokrasian, sudah tentu ujung tombak pertama ialah pemerintah baik pusat maupun daerah, sebagai sebuah sistem Negara Kesatuan Republic Indonesia. Di mana lembaga-lembaga demokrasi yang ada hingga ke unit-unit terkecil sangat perlu menerapkan cara-cara yang demokratis. Sehingga pemerintah daerah dalam menjalankan kewenangannya tidak hanya mampu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan tetapi juga dapat mengurus masyarakat.
Bahwa demokratisasi harus didukung oleh berbagai perangkat hukum, agar tercipta suasana demokratis. DPRD misalnya harus mampu menjadi pelopor gerakan pendemokrasian kehidupan politik atau melakukan demokratisasi terhadap lembaga-lembaga politik yang ada di daerah.
Sehingga tidak terkesan, bahwa anggota legislatif cenderung menghambat pelaksanaan atau penyelenggaran otonomi daerah, yang salah satu contoh konkrit adalah pengebirian terhadap Dana Alokasi Umum (DAU) sebagaimana pada masa awal otonomi daerah adanya penggunaan DAU secara tidak transparan. Dengan kata lain penggunaan oleh pejabat daerah, sebagai mana media mensinyalir bahwa penggunaan DAU untuk foya-foya, pejabat daerah, mulai dari kalangan eksetif hingga legislatif (Rakyat Merdeka, 30 Agustus 2002).
Tentu saja bukan dalam konteks seperti itu yang dimaksudkan demokratisasi penyelenggaraan otonomi daerah. Sebab bila hal seperti itu yang terjadi, maka sudah dapat dipartikan akan sulit bagi daerah untuk membangun daerahnya. Karena DAU tersebut antara lain adalah untuk dana pembangunan.
Jadi dengan keberadaan lembaga-lembaga demokrasi di daerah maka diharapkan kesempatan masyarakat akan lebih terbuka dan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang tidak dapat memelihara lembaga demokrasinya. Pendemokrasian harus menjadi semacam gerakan perjuangan. Hal inilah yang oleh Samuel P. Hantington disebut sebagai gelombang demokratisasi bagaimana rakyat menurunkan pemerintah otoriter dan mengkonsolidasikan rezim demokrasi.
Perkembangan demokrasi itu sendiri telah memperlihatkan suatu kemajuan yang sangat pesat. Hal ini dimungkinkan oleh kemauan politik dan komitmen terhadap pendemokrasian disegala bidang termasuk dalam berotonomi.
Menghidupkan sukma demokrasi secara kreatif tidak saja akan memperoleh keuntungan praktis, tetapi juga kemudahan-kemudahan dalam melakukan persambungan-persambungan politik dan cultural dengan anggota masyarakat. Kemudahan melakukan interaksi pemerintahan daerah dengan rakyatnya. Termasuk kemudahan dalam pengambilan keputusan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat secara keseluruhan. Itu sebabnya mengapa menghidupkan sukma demokrasi itu menjadi penting dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Demokrasi dengan demikian, membuka lebar saluran komunikasi dan memperluas ruang interaksi dan dialog antar pelaku politik dengan para pemimpin politik baik pusat maupun pada tingkat local. Begitu juga antar sesama anggota masyarakat, antar penyelenggara pemerintahan daerah dengan masyarakat dan seterusnya. Dan semakin menjadi penting ketika kita melihat otonomi yang harus dikaitkan dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat setempat dalam pelaksanaan pemerintah daerah yang otonomi. Karena itu tidak ada salahnya kalau sukma demokrasi perlu kembali dihidupkan bagi terwujudnya pemerataan antar daerah dan atau mengurangi kesenjangan antar pemerintah pusat dan daerah.
Menghidupkan sukma demokrasi bukan saja diperlukan dalam konteks pemilihan umum, melainkan juga dalam semua aspek kehidupan berpolitik baik di pusat maupun di daerah, Sukma demokrasi menjadi sangat penting keberadaannya ketika ia tuntut memberi nafas bagi kehidupan politik yang kondusif, keterturan politik dan sopan santun berdemokrasi. Awalnya gerakan pendemokrasiaan ini ialah tamatnya riwayat kediktatoran dan masuknya kekuatan civil society sembari mengambil langkah demokratisasi terhadap hamper semua bidang kehidupan.
Bahwa definisi demokrasi dalam arti pemilihan umum adalah definisi pas-pasan. Padahal demokrasi dituntut kemunculannya lebih dari sekedar itu. Demokrasi sejati berarti adanya system control yang efektif oleh warganegara terhadap kebijakan pemerintah. Musyawarah yang rasional dalam percaturan politik merupakan salah satu cara menghidupkan sukma demokrasi.
Untuk menerapkan itu memerlukan semangat idealisme yang lahir kejujuran, tanggungjawab, kedisiplinan rasa keadilan dan dengan cara-cara menjalankan kebijakan itu secara terbuka dan dapat diketahui oleh public Meski demokrasi bukan satu-satunya kebijakan public yang dianggap sebagai perluasan bagi terpenuhinya kepentingan-kepentingan rakyat, adalah sangat mungkin menghidupkan sukma demokrasi sejauh system politik itu memberi ruang gerak bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya.
Ketika pemerintah dianggap tidak bersikap demokratis, saat yang bersamaan kekuatan otoritarian bermain di dalamnya. Dalam gerakan pendemokrasian, sudah tentu ujung tombak pertama ialah pemerintah baik pusat maupun daerah, sebagai sebuah sistem Negara Kesatuan Republic Indonesia. Di mana lembaga-lembaga demokrasi yang ada hingga ke unit-unit terkecil sangat perlu menerapkan cara-cara yang demokratis. Sehingga pemerintah daerah dalam menjalankan kewenangannya tidak hanya mampu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan tetapi juga dapat mengurus masyarakat.
Bahwa demokratisasi harus didukung oleh berbagai perangkat hukum, agar tercipta suasana demokratis. DPRD misalnya harus mampu menjadi pelopor gerakan pendemokrasian kehidupan politik atau melakukan demokratisasi terhadap lembaga-lembaga politik yang ada di daerah.
Sehingga tidak terkesan, bahwa anggota legislatif cenderung menghambat pelaksanaan atau penyelenggaran otonomi daerah, yang salah satu contoh konkrit adalah pengebirian terhadap Dana Alokasi Umum (DAU) sebagaimana pada masa awal otonomi daerah adanya penggunaan DAU secara tidak transparan. Dengan kata lain penggunaan oleh pejabat daerah, sebagai mana media mensinyalir bahwa penggunaan DAU untuk foya-foya, pejabat daerah, mulai dari kalangan eksetif hingga legislatif (Rakyat Merdeka, 30 Agustus 2002).
Tentu saja bukan dalam konteks seperti itu yang dimaksudkan demokratisasi penyelenggaraan otonomi daerah. Sebab bila hal seperti itu yang terjadi, maka sudah dapat dipartikan akan sulit bagi daerah untuk membangun daerahnya. Karena DAU tersebut antara lain adalah untuk dana pembangunan.
Jadi dengan keberadaan lembaga-lembaga demokrasi di daerah maka diharapkan kesempatan masyarakat akan lebih terbuka dan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang tidak dapat memelihara lembaga demokrasinya. Pendemokrasian harus menjadi semacam gerakan perjuangan. Hal inilah yang oleh Samuel P. Hantington disebut sebagai gelombang demokratisasi bagaimana rakyat menurunkan pemerintah otoriter dan mengkonsolidasikan rezim demokrasi.
Perkembangan demokrasi itu sendiri telah memperlihatkan suatu kemajuan yang sangat pesat. Hal ini dimungkinkan oleh kemauan politik dan komitmen terhadap pendemokrasian disegala bidang termasuk dalam berotonomi.
Menghidupkan sukma demokrasi secara kreatif tidak saja akan memperoleh keuntungan praktis, tetapi juga kemudahan-kemudahan dalam melakukan persambungan-persambungan politik dan cultural dengan anggota masyarakat. Kemudahan melakukan interaksi pemerintahan daerah dengan rakyatnya. Termasuk kemudahan dalam pengambilan keputusan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat secara keseluruhan. Itu sebabnya mengapa menghidupkan sukma demokrasi itu menjadi penting dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Demokrasi dengan demikian, membuka lebar saluran komunikasi dan memperluas ruang interaksi dan dialog antar pelaku politik dengan para pemimpin politik baik pusat maupun pada tingkat local. Begitu juga antar sesama anggota masyarakat, antar penyelenggara pemerintahan daerah dengan masyarakat dan seterusnya. Dan semakin menjadi penting ketika kita melihat otonomi yang harus dikaitkan dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat setempat dalam pelaksanaan pemerintah daerah yang otonomi. Karena itu tidak ada salahnya kalau sukma demokrasi perlu kembali dihidupkan bagi terwujudnya pemerataan antar daerah dan atau mengurangi kesenjangan antar pemerintah pusat dan daerah.
Rabu, 20 Agustus 2008
Membangun Kedaulatan Rakyat
Oleh M. Sarwani, wartawan Bisnis Indonesia
Sumber: Bisnis Indonesia, Minggu, 03 Agustus 2008
Perjuangan Adi Sasono membela wong cilik tidak pernah surut. Lewat buku terbarunya Rakyat Bangkit Bangun Martabat, dia mengingatkan tentang perlunya perubahan sosial untuk mencapai kedaulatan rakyat.
"Kini, yang diperlukan adalah perubahan sosial. Tentu saja, tidak akan ada perubahan sosial tanpa tindakan sosial. Sementara tindakan sosial tidak akan terwujud tanpa penyadaran. Penyadaran sosial inilah yang sesungguhnya menjadi tugas besar para pemimpin dan kaum terpelajar," kata Adi Sasono dalam pengantarnya di buku tersebut.
Ajakan penulis buku tersebut mengingatkan kita akan sepak terjangnya pada masa lalu. Apa pun posisi Adi Sasono, dia ingin membangun kedaulatan rakyat melalui ekonomi kerakyatan, termasuk saat dia menjadi menteri koperasi pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie.
Idenya tentang ekonomi kerakyatan sempat membuatnya mendapatkan julukan The Most Dangerous Man saat dia menjadi menteri koperasi karena mengusung isu tentang redistribusi aset untuk menyelamatkan bangsa. Label tersebut diberikan majalah Far Eastern Economic Review dalam edisi minggu pertama Desember 1998, sementara majalah The Economist dari Inggris menyebutnya Robin Hood van Java.
Menurut Adi Sasono, telah terjadi kesenjangan ekonomi antara warga keturunan yang memperoleh kekayaannya karena hubungan khusus dengan penguasa Orde Baru dan masyarakat sekitarnya.
Untuk itu, industri tekstil dan produk tekstil (TPT), misalnya, dapat menolong kesenjangan ini dengan redistribusi asetnya kepada pengusaha kecil dan koperasi. Hal ini juga untuk menyelamatkan aset bangsa, jangan sampai aset tersebut dihancurkan karena gejolak sosial.
Pria yang sudah lebih dari 27 tahun menghabiskan waktunya di lembaga swadaya masyarakat ini tetap konsisten mengusung ide ekonomi kerakyatan seperti ditulisnya di halaman 64 buku tersebut. Buku ini dibagi ke dalam tiga bab. Bab 1 membahas tentang Indonesia di tengah arus globalisasi. Bab 2 membahas ekonomi kerakyatan: solusi bagi kemakmuran dan kesejahteraan. Bab 3 tentang demokratisasi politik dan peluang penerapan ekonomi kerakyatan.
Sebelum masuk pada pembahasan apa itu ekonomi kerakyatan dan tahapan apa yang harus dilalui untuk mencapainya, Adi Sasono menyadarkan pembaca akan ancaman penjajahan kembali (rekolonisasi) yang membonceng dibalik isu globalisasi.
Menurut dia, globalisasi yang mengemuka dewasa ini merupakan hasil dari sistem dan proses pembangunan dunia internasional yang bertumpu pada strategi 'satu memantapkan semua' yang dijalankan kaum kapitalis dalam masyarakat internasional yang demikian heterogen (hal. 4).
Pemikiran Adi Sasono bisa dibilang sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni kapitalisme global yang mengisap negara-negara miskin. Dia berangkat dengan pemikiran teoretis dan melahirkan karya tulis dalam perspektif ekonomi politik tentang ketergantungan dan kemiskinan.
Tentu saja diharapkan buku ini tidak memberikan kesadaran sesaat kepada bangsa tetapi secara bertahap dan sistematis membangun sistem ekonomi yang berbasis kerakyatan yang memiliki karakteristik tidak bergantung pada sektor moneter, mempunyai muatan lokal yang tinggi, dan menghasilkan produk ekspor. (sarwani@bisnis. co.id)
Judul :Rakyat Bangkit Bangun Bangsa , Penulis : Adi Sasono, Penerbit :Pustaka Alvabet dan Dewan Koperasi Indonesi (Dekopin), Cetakan : I, Juli 2008,
Tebal : xii + 250 halaman, Pustaka Alvabet, Ciputat Mas Plaza Blok B/AD
Jl. Ir. H. Juanda No. 5A, Ciputat, Jakarta Selatan Indonesia 15411
Telp. +62 21 7494032, Fax. +62 21 74704875, www.alvabet. co.id
Sumber: Bisnis Indonesia, Minggu, 03 Agustus 2008
Perjuangan Adi Sasono membela wong cilik tidak pernah surut. Lewat buku terbarunya Rakyat Bangkit Bangun Martabat, dia mengingatkan tentang perlunya perubahan sosial untuk mencapai kedaulatan rakyat.
"Kini, yang diperlukan adalah perubahan sosial. Tentu saja, tidak akan ada perubahan sosial tanpa tindakan sosial. Sementara tindakan sosial tidak akan terwujud tanpa penyadaran. Penyadaran sosial inilah yang sesungguhnya menjadi tugas besar para pemimpin dan kaum terpelajar," kata Adi Sasono dalam pengantarnya di buku tersebut.
Ajakan penulis buku tersebut mengingatkan kita akan sepak terjangnya pada masa lalu. Apa pun posisi Adi Sasono, dia ingin membangun kedaulatan rakyat melalui ekonomi kerakyatan, termasuk saat dia menjadi menteri koperasi pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie.
Idenya tentang ekonomi kerakyatan sempat membuatnya mendapatkan julukan The Most Dangerous Man saat dia menjadi menteri koperasi karena mengusung isu tentang redistribusi aset untuk menyelamatkan bangsa. Label tersebut diberikan majalah Far Eastern Economic Review dalam edisi minggu pertama Desember 1998, sementara majalah The Economist dari Inggris menyebutnya Robin Hood van Java.
Menurut Adi Sasono, telah terjadi kesenjangan ekonomi antara warga keturunan yang memperoleh kekayaannya karena hubungan khusus dengan penguasa Orde Baru dan masyarakat sekitarnya.
Untuk itu, industri tekstil dan produk tekstil (TPT), misalnya, dapat menolong kesenjangan ini dengan redistribusi asetnya kepada pengusaha kecil dan koperasi. Hal ini juga untuk menyelamatkan aset bangsa, jangan sampai aset tersebut dihancurkan karena gejolak sosial.
Pria yang sudah lebih dari 27 tahun menghabiskan waktunya di lembaga swadaya masyarakat ini tetap konsisten mengusung ide ekonomi kerakyatan seperti ditulisnya di halaman 64 buku tersebut. Buku ini dibagi ke dalam tiga bab. Bab 1 membahas tentang Indonesia di tengah arus globalisasi. Bab 2 membahas ekonomi kerakyatan: solusi bagi kemakmuran dan kesejahteraan. Bab 3 tentang demokratisasi politik dan peluang penerapan ekonomi kerakyatan.
Sebelum masuk pada pembahasan apa itu ekonomi kerakyatan dan tahapan apa yang harus dilalui untuk mencapainya, Adi Sasono menyadarkan pembaca akan ancaman penjajahan kembali (rekolonisasi) yang membonceng dibalik isu globalisasi.
Menurut dia, globalisasi yang mengemuka dewasa ini merupakan hasil dari sistem dan proses pembangunan dunia internasional yang bertumpu pada strategi 'satu memantapkan semua' yang dijalankan kaum kapitalis dalam masyarakat internasional yang demikian heterogen (hal. 4).
Pemikiran Adi Sasono bisa dibilang sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni kapitalisme global yang mengisap negara-negara miskin. Dia berangkat dengan pemikiran teoretis dan melahirkan karya tulis dalam perspektif ekonomi politik tentang ketergantungan dan kemiskinan.
Tentu saja diharapkan buku ini tidak memberikan kesadaran sesaat kepada bangsa tetapi secara bertahap dan sistematis membangun sistem ekonomi yang berbasis kerakyatan yang memiliki karakteristik tidak bergantung pada sektor moneter, mempunyai muatan lokal yang tinggi, dan menghasilkan produk ekspor. (sarwani@bisnis. co.id)
Judul :Rakyat Bangkit Bangun Bangsa , Penulis : Adi Sasono, Penerbit :Pustaka Alvabet dan Dewan Koperasi Indonesi (Dekopin), Cetakan : I, Juli 2008,
Tebal : xii + 250 halaman, Pustaka Alvabet, Ciputat Mas Plaza Blok B/AD
Jl. Ir. H. Juanda No. 5A, Ciputat, Jakarta Selatan Indonesia 15411
Telp. +62 21 7494032, Fax. +62 21 74704875, www.alvabet. co.id
"Twilight" moves into "Potter's" old date

Sumber : Yahoo! News Alert
Photo: Reuters
Click to enlarge
LOS ANGELES (Hollywood Reporter) - The highly anticipated adaptation of the Stephenie Meyer teen vampire romance novel "Twilight" has been moved from its December 12 release date to November 21, the date just vacated by Warner Bros.' "Harry Potter and the Half-Blood Prince."
Directed by Catherine Hardwicke, the Summit Entertainment film stars Kristen Stewart ("Into the Wild") and Robert Pattinson, who played Cedric Diggory in two "Harry Potter" films.
"When Warner Bros. decided to move 'Harry Potter and the Half-Blood Prince' to the summer of 2009, we saw a unique opportunity to slot in our film, which has been gaining tremendous awareness and momentum over the past several months," Summit's Rob Friedman said.
Striking a respectful tone, Friedman added, "We by no means are trying to fill the shoes of the incredible Potter franchise for 2008. Rather, we are just looking to bring the fans of Stephenie Meyer's incredible book series the film as soon possible."
Mao's successor Hua Guofeng passes away

Sumber : Yahoo! Asia News
Photo: AFP
BEIJING (AFP) - Hua Guofeng, who succeeded Mao Zedong as chairman of China's ruling Communist Party, has died at the age of 87 in Beijing, state media reported on Wednesday.
Hua died of an illness in China's capital at 12:50 Wednesday afternoon, the official Xinhua news agency said, without saying what the illness was.
The news was also announced on China's central television news channel, but gave no more details about the cause of his death.
Hua, one of the last of the revolutionary old guard, spent a brief period at the helm of the Communist Party after Mao's death in 1976, before being eased out of power a few years later by Deng Xiaoping who introduced reforms that opened up China's economy.
Hua had risen rapidly through the ranks under Mao's reign, from an obscure cadre in central Hunan province to party chief after Mao's death, based on the Great Helmsman's simple remark, "With you in charge, I am at ease."
At one time, Hua was head of the party, the government and the armed forces, having courted the faction led by Deng in order to eject the notorious "Gang of Four" that included Mao's widow Jiang Qing.
But Deng ousted Hua, who was determined to continue the Maoist line, and replaced him with younger men more attuned to his own ideas of economic reforms in top party and government posts.
In 1980, he was replaced as premier by Zhao Ziyang, and by Hu Yaobang as party chairman in 1981 -- two of Deng's proteges who were dedicated to economic reform.
At the 12th party congress in 1982, Hua's political fall culminated in him losing his politburo seat, but he remained as one of the members of the central committee.
From that time, he stayed away from the public eye and it was not known what he thought of the changes that shook China in the decades that followed
Sabtu, 09 Agustus 2008
Indonesia Merdeka Karena Amerika?
Oleh Penerbit Serambi
Berdasarkan penelitian atas catatan diplomatik Amerika Serika,Indonesia, Belanda, dan Australia, juga arsip PBB, Gouda dan Brocades Zaalberg menelaah perubahan pandangan Amerika Serikat terhadap Indonesia dari 1920-an hingga 1949. Analisis sejarah baru oleh kedua penulis tersebut memberi kesan bahwa kalangan diplomatik Amerika bukan "tak tahu-menahu" keadaan di Indonesia sebagaimana diduga banyak
pihak, baik sebelum maupun sesudah Perang Dunia II.
Hingga belum lama ini, sebuah mitos tak terhapus muncul bahwa begitu Perang Dunia II berakhir, pemerintah Amerika Serikat pada masa kepemimpinan Presiden Hary Truman segera menyatakan dukungan politiknya terhadap Republik Indonesia yang baru berdiri. Mitos yang sama terus dipercaya di Belanda dimana banyak orang Belanda masih
berpikir bahwa bantuan Amerika Serikat terhadap Republik Indonesia,
yang bermula pada 1945-1946, berperan besar atas kemerdekaan prematur
dan menyakitkan Hindia Belanda.
Dengan demikian, terlepas dari perjuangan gigih rakyat Indonesia di medan tempur dan keuletan para diplomat kita di meja perundingan, politik luar negeri AS punya andil yang tak kecil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Ditulis dengan lancar serta dilengkapi referensi langka dan detail personal sejumlah tokoh sejarah, buku penting ini mengungkap fakta tentang perubahan kebijakan luar negeri AS terhadap Indonesia dan pengaruhnya dalam percaturan dalam percaturan polotik internasional, terutama di masa genting revolusi kemerdekaan Indonesia.
Judul:Indonesia Merdeka Karena Amerika?,Pengarang:Frances Gouda, Halaman : 487/HVS
ISBN : 978-979-1275-96-5 Untuk informasi lebih lanjut klik www.serambi.co.id
Berdasarkan penelitian atas catatan diplomatik Amerika Serika,Indonesia, Belanda, dan Australia, juga arsip PBB, Gouda dan Brocades Zaalberg menelaah perubahan pandangan Amerika Serikat terhadap Indonesia dari 1920-an hingga 1949. Analisis sejarah baru oleh kedua penulis tersebut memberi kesan bahwa kalangan diplomatik Amerika bukan "tak tahu-menahu" keadaan di Indonesia sebagaimana diduga banyak
pihak, baik sebelum maupun sesudah Perang Dunia II.
Hingga belum lama ini, sebuah mitos tak terhapus muncul bahwa begitu Perang Dunia II berakhir, pemerintah Amerika Serikat pada masa kepemimpinan Presiden Hary Truman segera menyatakan dukungan politiknya terhadap Republik Indonesia yang baru berdiri. Mitos yang sama terus dipercaya di Belanda dimana banyak orang Belanda masih
berpikir bahwa bantuan Amerika Serikat terhadap Republik Indonesia,
yang bermula pada 1945-1946, berperan besar atas kemerdekaan prematur
dan menyakitkan Hindia Belanda.
Dengan demikian, terlepas dari perjuangan gigih rakyat Indonesia di medan tempur dan keuletan para diplomat kita di meja perundingan, politik luar negeri AS punya andil yang tak kecil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Ditulis dengan lancar serta dilengkapi referensi langka dan detail personal sejumlah tokoh sejarah, buku penting ini mengungkap fakta tentang perubahan kebijakan luar negeri AS terhadap Indonesia dan pengaruhnya dalam percaturan dalam percaturan polotik internasional, terutama di masa genting revolusi kemerdekaan Indonesia.
Judul:Indonesia Merdeka Karena Amerika?,Pengarang:Frances Gouda, Halaman : 487/HVS
ISBN : 978-979-1275-96-5 Untuk informasi lebih lanjut klik www.serambi.co.id
Kamis, 07 Agustus 2008
PENGEMBANGAN AGRIBISNIS
Oleh Aminuddin Siregar
Agribisnis nampaknya tidak cuma sekedar isapan jempol, apabila ditemukan modus baru pengembangan agribisnis ini, dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan. Akan tetapi problem yang seringkali muncul kepermukaan, justru bukan masalah pengembangan, melainkan seberapa efektif manajemen agribisnis ini telah dilakukan. Sehingga persoalan yang menyangkut daya dukung ekonomi daerah yang berbasis kerakyatan menjadi prioritas..
Itu sebabnya, mengapa perlu dicari modus baru pengembangan agribisnis ini. Di mana agribisnis benar-benar dapat menjadi satu kekuatan bagi daerah dalam menjalankan roda pemerintahan dan mengurus rumah tangganya sendiri. Barulah kemudian makna otonomi daerah, yang berbasis kerakyatan dapat digiring ke arah terciptanya demokratisasi ekonomi. Meskipun demokrasi dianggap tidak selalu bisa memberantas kemiskinan.
Pusat krisis yang dibentuk pemerintah tempo hari itu, nampaknya bertujuan untuk membantu dan mendukung pelaku bisnis dan perdagangan dalam meningkatkan usaha mereka. Bukan saja di tingkat nasional dan regional melainkan juga pada tingkat global. Sebab menurut Menteri Perindustrian dan Perdagangan, yang ketika itu dijabat oleh Rini MS. Soewandi, usaha pengembangan itu difokuskan pada tiga bidang industri, yakni industri tekstil, produk tekstil, dan industri alas kaki, serta industri elektronik.
Dengan dibentuknya pusat krisis industri dan perdagangan ini, diharapkan dapat menyerap tenaga kerja. Sekurangnya dapat mengurangi angka pengangguran yang cenderung meningkat dari hari-kehari. Harapan ini tidak saja untuk memperkuat kembali perekonomian regional tetapi juga dapat mendongkrak laju perekonomian daerah secara lokal, dengan berbasiskan ekonomi kerakyatan.
Sejalan dengan itu Manajemen Pengembangan Agribisnis Berwawasan Lingkungan sangat diperlukan oleh pemerintah Kabupaten/Kota. Sebab pengembangan agribisnis juga akan dapat dijadikan sebagai kekuatan daya saing disektor perdagangan. Untuk mewujudkan hal Ini, tentu saja diperlukan kesepakatan bersama, konsensus, dan terlebih lagi sangat diperlukan ialah komitmen terhadap pengembangan agribisnis sebagaimana diharapkan.
Persoalannya, apakah pencarian modus baru pengembangan agribisnis ini bisa disepakati, apabila penegakan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan benar justru dianggap sebagai hambatan? Padahal semua warga masyarakat mesti mengetahui apa yang menjadi kebijakan pemerintah dan secara transparan aspirasi mereka yang disuarakan oleh wakil mereka sepenuhnya didasarkan pada kesesuaian dengan kebutuhan mereka.
Penulis Staf Pengajar pada Pusdiklat Depdagri Regional Bukittinggi. Penggagas Forum Diskusi Komunitas Klub Haus Buku.
Agribisnis nampaknya tidak cuma sekedar isapan jempol, apabila ditemukan modus baru pengembangan agribisnis ini, dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan. Akan tetapi problem yang seringkali muncul kepermukaan, justru bukan masalah pengembangan, melainkan seberapa efektif manajemen agribisnis ini telah dilakukan. Sehingga persoalan yang menyangkut daya dukung ekonomi daerah yang berbasis kerakyatan menjadi prioritas..
Itu sebabnya, mengapa perlu dicari modus baru pengembangan agribisnis ini. Di mana agribisnis benar-benar dapat menjadi satu kekuatan bagi daerah dalam menjalankan roda pemerintahan dan mengurus rumah tangganya sendiri. Barulah kemudian makna otonomi daerah, yang berbasis kerakyatan dapat digiring ke arah terciptanya demokratisasi ekonomi. Meskipun demokrasi dianggap tidak selalu bisa memberantas kemiskinan.
Pusat krisis yang dibentuk pemerintah tempo hari itu, nampaknya bertujuan untuk membantu dan mendukung pelaku bisnis dan perdagangan dalam meningkatkan usaha mereka. Bukan saja di tingkat nasional dan regional melainkan juga pada tingkat global. Sebab menurut Menteri Perindustrian dan Perdagangan, yang ketika itu dijabat oleh Rini MS. Soewandi, usaha pengembangan itu difokuskan pada tiga bidang industri, yakni industri tekstil, produk tekstil, dan industri alas kaki, serta industri elektronik.
Dengan dibentuknya pusat krisis industri dan perdagangan ini, diharapkan dapat menyerap tenaga kerja. Sekurangnya dapat mengurangi angka pengangguran yang cenderung meningkat dari hari-kehari. Harapan ini tidak saja untuk memperkuat kembali perekonomian regional tetapi juga dapat mendongkrak laju perekonomian daerah secara lokal, dengan berbasiskan ekonomi kerakyatan.
Sejalan dengan itu Manajemen Pengembangan Agribisnis Berwawasan Lingkungan sangat diperlukan oleh pemerintah Kabupaten/Kota. Sebab pengembangan agribisnis juga akan dapat dijadikan sebagai kekuatan daya saing disektor perdagangan. Untuk mewujudkan hal Ini, tentu saja diperlukan kesepakatan bersama, konsensus, dan terlebih lagi sangat diperlukan ialah komitmen terhadap pengembangan agribisnis sebagaimana diharapkan.
Persoalannya, apakah pencarian modus baru pengembangan agribisnis ini bisa disepakati, apabila penegakan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dan benar justru dianggap sebagai hambatan? Padahal semua warga masyarakat mesti mengetahui apa yang menjadi kebijakan pemerintah dan secara transparan aspirasi mereka yang disuarakan oleh wakil mereka sepenuhnya didasarkan pada kesesuaian dengan kebutuhan mereka.
Penulis Staf Pengajar pada Pusdiklat Depdagri Regional Bukittinggi. Penggagas Forum Diskusi Komunitas Klub Haus Buku.
Senin, 04 Agustus 2008
MENYAMBUT KENDURI DEMOKRASI 2009
Oleh Aminuddin Siregar
Kini demokrasi diyakini sebagai cara terbaik dalam melakukan berbagai persambungan sosial-politik. Baik dalam konteks persambungan pemerintah dengan masyarakat, maupun dalam konteks Negara-bangsa. Persmbungan-persambungan kultural, politik, dan persambungan-persambungan sosial kemasyarakatan lainnya.
Silaturrahmi politik, suka tidak suka, mau tidak mau dilihat sebagai kegiatan dari bentuk kepentingan semata dari apa yang menjadi hasil dari sebuah pesta demokrasi. Ketika pemerintah mulai mempertaruhkan segala potensinya untuk membangun kesejahteraan rakyat. Partai politik muncul berduyun-duyun.
Kenduri demokrasi 2009, memang harus disambut semeriah mungkin bukan saja karena pesta seperti itu harus terjadi, melainkan karena kenduri itu merupakan momentum mengatur kembali bagaimana strategi mengurus rakyat yang baik dan benar Termasuk mengatur kembali fungsi-fungsi pemerintahan mulai dari pemerintah desa hingga pemerintah pusat. Dalam kaitan ini mesti muncul kepedulian terhadap nasib rakyat, yang pasti membutuhkan komitmen dan integritas. Bukan saja oleh pemerintah melainkan juga oleh institusi politik yang ada.
Keduri demokrasi selalu mendapat perhatian banyak orang. Tidak saja oleh kalangan politisi, birokrasi, kaum profesional, tokoh masyarakat dan organisasi politik, serta kelompok kepentingan lainnya. Tetapi juga oleh hampir seluruh lapisan masyarakat politik. Perhatian itu wajar, terutama menjelang kenduri demokrasi yang tinggal beberapa bulan lagi.
Karena itu, harus berani jujur untuk menyelamatkan kenduri demokrasi terhadap munculnya distorsi terhadap jalannya proses politik. Terutama yang menyangkut pengadaan dan pendistribusian kelengkapan kenduri. Khususnya menyangkut proses penghitungan kertas suara. Itu sebabnya, kenduri demokrasi ini dilihat sebagai momen penting membangun kembali semua elemen masyarakat politik untuk berani jujur dan peduli terhadap sesama komunitas politik meski beda satu sama lain.
Penulis Staf Pengajar Pusdiklat Depdagri Regional Bukittinggi. Penggagas forum diskusi Komunitas Klub Haus Buku.
Kini demokrasi diyakini sebagai cara terbaik dalam melakukan berbagai persambungan sosial-politik. Baik dalam konteks persambungan pemerintah dengan masyarakat, maupun dalam konteks Negara-bangsa. Persmbungan-persambungan kultural, politik, dan persambungan-persambungan sosial kemasyarakatan lainnya.
Silaturrahmi politik, suka tidak suka, mau tidak mau dilihat sebagai kegiatan dari bentuk kepentingan semata dari apa yang menjadi hasil dari sebuah pesta demokrasi. Ketika pemerintah mulai mempertaruhkan segala potensinya untuk membangun kesejahteraan rakyat. Partai politik muncul berduyun-duyun.
Kenduri demokrasi 2009, memang harus disambut semeriah mungkin bukan saja karena pesta seperti itu harus terjadi, melainkan karena kenduri itu merupakan momentum mengatur kembali bagaimana strategi mengurus rakyat yang baik dan benar Termasuk mengatur kembali fungsi-fungsi pemerintahan mulai dari pemerintah desa hingga pemerintah pusat. Dalam kaitan ini mesti muncul kepedulian terhadap nasib rakyat, yang pasti membutuhkan komitmen dan integritas. Bukan saja oleh pemerintah melainkan juga oleh institusi politik yang ada.
Keduri demokrasi selalu mendapat perhatian banyak orang. Tidak saja oleh kalangan politisi, birokrasi, kaum profesional, tokoh masyarakat dan organisasi politik, serta kelompok kepentingan lainnya. Tetapi juga oleh hampir seluruh lapisan masyarakat politik. Perhatian itu wajar, terutama menjelang kenduri demokrasi yang tinggal beberapa bulan lagi.
Karena itu, harus berani jujur untuk menyelamatkan kenduri demokrasi terhadap munculnya distorsi terhadap jalannya proses politik. Terutama yang menyangkut pengadaan dan pendistribusian kelengkapan kenduri. Khususnya menyangkut proses penghitungan kertas suara. Itu sebabnya, kenduri demokrasi ini dilihat sebagai momen penting membangun kembali semua elemen masyarakat politik untuk berani jujur dan peduli terhadap sesama komunitas politik meski beda satu sama lain.
Penulis Staf Pengajar Pusdiklat Depdagri Regional Bukittinggi. Penggagas forum diskusi Komunitas Klub Haus Buku.
Million-selling opening for vampire series finale
Monday August 4, 9:12 PM
Harry Potter is still king, but the final book of Stephenie Meyer's "Twilight" series did manage a million-selling debut.
"Breaking Dawn," the fourth of Meyer's sensational teen vampire series, sold 1.3 million copies in the first 24 hours after its midnight, Aug. 2 release. Publisher Little, Brown Books for Young Readers announced Monday that it has gone back for 500,000 more copies, making the total print run 3.7 million.
The numbers for "Breaking Dawn" are comparable to the openings of a pair of famous memoirs: former President Clinton's "My Life" and Sen. Hillary Rodham Clinton's "Living History." But they don't approach the unveiling of "Harry Potter and the Deathly Hallows." The seventh and final volume of J.K. Rowling's fantasy series sold 8.3 million copies in its first 24 hours in the United States alone.
Harry Potter is still king, but the final book of Stephenie Meyer's "Twilight" series did manage a million-selling debut.
"Breaking Dawn," the fourth of Meyer's sensational teen vampire series, sold 1.3 million copies in the first 24 hours after its midnight, Aug. 2 release. Publisher Little, Brown Books for Young Readers announced Monday that it has gone back for 500,000 more copies, making the total print run 3.7 million.
The numbers for "Breaking Dawn" are comparable to the openings of a pair of famous memoirs: former President Clinton's "My Life" and Sen. Hillary Rodham Clinton's "Living History." But they don't approach the unveiling of "Harry Potter and the Deathly Hallows." The seventh and final volume of J.K. Rowling's fantasy series sold 8.3 million copies in its first 24 hours in the United States alone.
Jumat, 04 Juli 2008
TRACE : Sebuah Novel

Setelah lima tahun bekerja sebagai konsultan lepas di Florida Selatan, Scarpetta harus kembali ke kota yang telah menampiknya,
Richmond, Virginia. Atas permintaan Kepala Pemeriksa Medis baru
yang telah menggusur posisinya, dia terlibat dalam pemecahan sebuah kasus pelik. Namun, yang dihadapi Scarpetta lebih dari sekadar kematian seorang gadis berusia empat belas tahun. Kembali ke kota yang telah menolaknya itu sama saja dengan mengorek luka lama.
Lebih-lebih, dia menemui banyak hal tak terduga: laboratorium bekas tempat kerjanya yang sekarang terbengkalai dan semrawut; pimpinan baru yang memiliki niat tersembunyi; mantan asisten Scarpetta
yang bergelut dengan persoalan-persoalan pribadi dan tertutup;
serta campur tangan FBI dalam kasus tersebut.
Tanpa bantuan Benton dan Lucy yang sedang menangani sebuah kasus penyerangan yang awalnya tampak tidak berhubungan, Scarpetta harus memecahkan kasus ini dengan sangat sedikit bukti—jejak yang bahkan jarang bisa terendus oleh pemburu paling cermat sekalipun. Scarpetta harus mengikuti petunjuk-petunjuk yang membingungkan itu dan melacak sejumlah detail yang aneh untuk memecahkan kasus tersebut—dan untuk mengungkapkan kenyataan memilukan yang mungkin tak dapat ditanggungnya.
Pemberontakan dan Kekerasan dalam Hukum Islam

Bermula dari kekecewaan mengkaji fikih modern tentang kekerasan politik dan terorisme, Abu El Fadl menyusuri sebuah perjalanan sangat menarik. Sembilan tahun lamanya dia melacak fikih pemberontakan dan kekerasan (dari abad ke-8 hingga ke-17 M.). Pelacakannya berujung pada kesimpulan bahwa fikih pramodern ternyata relevan dengan masalah yang kita hadapi dewasa ini.
Buku ini mengulas bagaimana dinamika negosiatif antara penguasa dan fukaha dalam sejarah Islam menghasilkan wacana doktrinal yang begitu kaya dan, terkadang, penuh teka-teki. Salah satu bagian penting dari wacana itu adalah hukum pemberontakan dalam Islam (ahkam al-bughah). Fikih ini membicarakan posisi moral dan hukum dari para pemberontak serta perlakuan yang semestinya diberikan kepada mereka. Dengan meyakinkan, Abou El Fadl menunjukkan bahwa hukum Islam klasik dan pascaklasik memberikan kelonggaran perlakuan terhadap kaum pemberontak. Sayangnya, kearifan itu kini lenyap—digantikan oleh wacana fikih modern yang tumpul dan mudah ditebak.
Barangkali, inilah satu-satunya tinjauan sistematis mengenai hukum perlawanan politik dan kekerasan dalam Islam. Buku ini menggambarkan dengan gemilang respons fukaha pramodern terhadap pelbagai aksi pemberontak: teror, penjarahan, pembunuhan, pemerkosaan, dan sebagainya. Anda pun bisa menikmati kecanggihan fukaha dalam mengelola berbagai aspek ajaran Islam menjadi sebuah bidang kajian yang utuh dan terurai dengan detail.
Indonesia Merdeka karena Amerika?

Politik Luar Negeri AS dan Nasionalisme Indonesia, 1920—1949
Buku ini mengkritisi pendapat umum yang menganggap bahwa sejak awal pemerintah Amerika Serikat dan para pembuat kebijakan luar negerinya mendukung sepenuhnya perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia pada 1945—1949, seperti yang pernah di-nyatakan Presiden AS Bill Clinton pada perayaan 50 tahun berdirinya Republik Indonesia, 17 Agustus 1995.
Berdasarkan penelitian atas catatan diplomatik Amerika Serikat, Indonesia, Belanda, dan Australia, juga arsip PBB, Gouda dan Brocades Zaalberg menelaah perubahan pandangan Amerika Serikat terhadap Indonesia dari 1920-an hingga 1949. Analisis sejarah baru oleh kedua penulis tersebut memberi kesan bahwa kalangan diplomatik Amerika bukan “tak tahu-menahu” keadaan di Indonesia sebagaimana diduga banyak pihak, baik sebelum maupun sesudah Perang Dunia II. Dengan demikian, terlepas dari perjuangan gigih rakyat Indonesia di medan tempur dan keuletan para diplomat kita di meja perundingan, politik luar negeri AS punya andil yang tak kecil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Ditulis dengan lancar serta dilengkapi referensi langka dan detail personal sejumlah tokoh sejarah, buku penting ini mengungkap fakta tentang perubahan kebijakan luar negeri AS terhadap Indonesia dan pengaruhnya dalam percaturan politik internasional, terutama di masa genting revolusi kemerdekaan Indonesia.
Prof. Dr. Frances Gouda adalah guru besar sejarah di jurusan Ilmu Politik Universitas Amsterdam, Belanda. Bukunya, Dutch Culture Overseas: Politik Kolonial di Hindia Belanda, 1900—1942, diterbitkan Serambi dan mendapat sambutan hangat di tanah air.
Dr. Thijs Brocades Zaalberg adalah peneliti di Lembaga Sejarah Militer Belanda di Den Haag, Belanda.
Latihan Singkat Bernegosiasi Jitu Disegala Situasi

Kiat Memecahkan Konflik, Memuaskan Para Pelanggan, dan Menghasilkan Transaksi yang Lebih Baik
12 STEPS TO BE THE KING OF ALL NEGOTIATIONS
Setiap hari kita menghadapi berbagai macam negosiasi, mulai dari membeli rumah atau mobil, mengupayakan kenaikan gaji, sampai memecahkan perselisihan dengan teman atau pasangan. Dengan demikian, keterampilan bernegosiasi sangat penting dalam hidup kita dan orang yang telah menguasai seni bernegosiasi biasanya memiliki kehidupan yang lebih mudah. Dalam buku ini, pakar negosiasi yang paling inovatif Ed Brodow menunjukkan bagaimana memenangkan semua negosiasi dalam hidup Anda.
Ed Brodow, Sang Raja Negosiator, akan melatih Anda keterampilan dasar yang dibutuhkan untuk menguasai seni negosiasi. Di sini Anda akan belajar cara:
Mengalahkan rasa takut Anda terhadap konfrontasi.
Mengenal dan mengembangkan gaya negosiasi pribadi Anda.
Menaksir kekuatan dan kelemahan pihak lain.
Menguasai seni mendengarkan untuk memahami posisi pihak lain dan memperkuat posisi Anda.
Menjadikan pihak lain sebagai kolaborator, bukannya kompetitor.
Menerobos kebuntuan dan memenangkan transaksi bisnis.
Namun, mungkin Anda ragu. Anda pikir Anda tidak akan bisa menjadi negosiator yang baik karena konon hanya orang-orang seperti Donald Trump atau mereka yang karismatik dan pandai bicaralah yang jago bernegosiasi.
Anda keliru. Ed Brodow menyatakan bahwa semua orang bisa menjadi negosiator ulung. Dia membuka rahasia bagaimana menjadi orang yang percaya diri untuk melakukan negosiasi yang sukses di tempat kerja dan dalam kehidupan pribadi Anda.
Selain itu, dengan menggunakan banyak sekali contoh yang dijumpai dalam kehidupan nyata, Brodow juga menunjukkan bagaimana menegosiasikan hal-hal yang dianggap tidak bisa dinegosiasikan,
seperti membayar di pasar swalayan, biaya berobat, tagihan telepon, dan pembayaran kartu kredit.
Setelah mempelajari buku ini, Anda akan siap untuk menghadapi negosiasi apa pun—dalam bisnis dan kehidupan pribadi Anda—dengan percaya diri dan terampil.
Kamis, 19 Juni 2008
Pemilu 2009 Peluang Besar Kaum Muda Jadi Presiden
Getty Images Barack Obama
Kaum Muda Harus Bangkit dan Profesional/KompasTV
Artikel Terkait:
* Kaum Muda Dominasi Calon DPR PDI-P
* Kaukus Muda Golkar: Cukup Sudah JK Memimpin
* Dede Yusuf: Kemenangan Kaum Muda
* Pemimpin Muda Perlu Didorong
* Menpora: Kaum Muda Jangan Lupakan Sejarah
Kamis, 19 Juni 2008 | 20:38 WIB
JAKARTA, KAMIS - Barack Obama, tokoh muda yang maju jadi calon presiden (capres) Amerika Serikat (AS), terbukti telah menyemangati kaum muda di Indonesia. Pemilihan umum presiden dan wakil presiden (Pilpres) tahun 2009, diyakini akan ada kejutan.
Walau sekarang belum disebut-sebut namanya, akan ada kaum muda yang maju mencalonkan diri dan peluang untuk terpilih begitu besar. Kaum muda yang layak jadi pemimpin bangsa itu, tak sekadar muda usia (bawah lima puluh tahun), melainkan harus memenuhi beberapa persyaratan.
Prediksi yang lebih merupakan harapan itu terungkap dalam diskusi politik yang mengusung tema "PKS dan Kepemimpinan Kaum Muda" pada peluncuran majalah Biografi Politik edisi khusus Satu Abad Kebangkitan Nasional, Kamis (19/6) di Jakarta. Acara tersebut menampilkan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Mennegpora) Adhyaksa Dault, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring, tokoh muda PDI Perjuangan Budiman Sudjatmiko, Pemimpin Redaksi Biografi Politik Yudi Latif, dan Pengamat Politik Khudori.
Adhyaksa Dault, yang menjadi Tokoh Muda Terpopuler hasil survei Reform Institute mengatakan, jika di berbagai kota/kabupaten dan provinsi di Indonesia kaum muda dipercaya masyarakat jadi wali kota/wakil wali kota, bupati/wakil bupati, serta gubernur/wakil gubernur, maka pada Pilpres 2009, kaum muda harus berani maju. Peluang terpilihnya pun cukup besar.
"Kaum muda harus berani melakukan perubahan. Berani berbuat, menyongsong Indonesia yang lebih baik. Jangan mau dan membiarkan reformasi ekonomi, reformasi hukum, dan reformasi sosial-budaya menjadi slogan-slogan yang membusuk. Jangan mau hukum menjadi alat kejahatan yang terorganisir dan sistematis. Jangan mau birokrasi jadi penyandera, beban bagi kemajuan, " kata Adhyaksa.
Menurut Menegpora, kondisi Indonesia yang lebih baik itu ditandai antara lain dengan hadirnya lembaga-lembaga hukum tidak kehilangan kredibilitas, lembaga-lembaga negara tidak kehilangan kepercayaan. "Dinamika dan dialog tentang persoalan bangsa harus dibangun, sebagaimana dulu dilakukan Natsir, Soekarno, Hatta, Sudjatmoko. Namun, yang terpenting NKRI adalah harga mati bagi kita," tegasnya.
Tifatul Sembiring mengatakan, pemimpin masa depan yang diharapkan tidak hanya sekadar muda usia, melainkan juga harus segar pemikirannya dan mendalami betul persoalan bangsa. Saat ini masalah utama yang dihadapi bangsa kita ialah kemiskinan, kebodohan, orang sakit tak bisa berobat, dan pesimisme.
"Persoalan bangsa tidak bisa diatasi dengan mengiklankan diri kita. Persoalan bangsa tidak bisa diatasi dengan tebar pesona, tak bisa diatasi dengan nyanyi-nyanyian. Juga tak bisa diatasi, misalnya, dengan main film," paparnya.
Menurut Presiden PKS ini, kaum muda yang layak jadi pemimpin bangsa itu harus mempunyai kredibilitas moral, visioner, spirit, dan kemampuan berkomunikasi. "Asal mememuhi persyaratan itu, siapa pun yang maju, walau bukan dari kaum muda PKS, kita akan dukung. Akan tetapi, antara persoalan bangsa dan pemimpin dari kaum muda yang dipilih itu harus nyambung. Ibarat ujian, jawabannya A, harus benar-benar ada kaitan, " tandasnya.
Budiman Sudjatmiko, yang sempat mengomentari figur calon presiden AS, Barack Obama, mengatakan, untuk bisa menjadi pemimpin bangsa ke depan, siapa pun harus mampu membangun dan merawat institusional building. Sebab, katanya, persoalan bangsa Indonesia saat ini adalah telah terjadinya kebangkrutan bangsa.
"Ini akibat kita terlalu percaya dengan pemimpin yang kaya, sementara kekayaan itu hasil dari pencurian. Dan lebih tragis lagi, ia itu pencuri kawakan. Kaum muda harus menghindari hal ini," ujarnya.
Sementara Khudori dalam paparannya mengatakan, kalau melihat sosok kaum muda, bayangan orang pasti PKS. "Kaum muda ke depan harus mengambil peran sesuai proporsinya. PKS adalah partai fenomenal, yang banyak diteliti," ujarnya. (NAL)
Sumber : KOMPAS
Kaum Muda Harus Bangkit dan Profesional/KompasTV
Artikel Terkait:
* Kaum Muda Dominasi Calon DPR PDI-P
* Kaukus Muda Golkar: Cukup Sudah JK Memimpin
* Dede Yusuf: Kemenangan Kaum Muda
* Pemimpin Muda Perlu Didorong
* Menpora: Kaum Muda Jangan Lupakan Sejarah
Kamis, 19 Juni 2008 | 20:38 WIB
JAKARTA, KAMIS - Barack Obama, tokoh muda yang maju jadi calon presiden (capres) Amerika Serikat (AS), terbukti telah menyemangati kaum muda di Indonesia. Pemilihan umum presiden dan wakil presiden (Pilpres) tahun 2009, diyakini akan ada kejutan.
Walau sekarang belum disebut-sebut namanya, akan ada kaum muda yang maju mencalonkan diri dan peluang untuk terpilih begitu besar. Kaum muda yang layak jadi pemimpin bangsa itu, tak sekadar muda usia (bawah lima puluh tahun), melainkan harus memenuhi beberapa persyaratan.
Prediksi yang lebih merupakan harapan itu terungkap dalam diskusi politik yang mengusung tema "PKS dan Kepemimpinan Kaum Muda" pada peluncuran majalah Biografi Politik edisi khusus Satu Abad Kebangkitan Nasional, Kamis (19/6) di Jakarta. Acara tersebut menampilkan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Mennegpora) Adhyaksa Dault, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring, tokoh muda PDI Perjuangan Budiman Sudjatmiko, Pemimpin Redaksi Biografi Politik Yudi Latif, dan Pengamat Politik Khudori.
Adhyaksa Dault, yang menjadi Tokoh Muda Terpopuler hasil survei Reform Institute mengatakan, jika di berbagai kota/kabupaten dan provinsi di Indonesia kaum muda dipercaya masyarakat jadi wali kota/wakil wali kota, bupati/wakil bupati, serta gubernur/wakil gubernur, maka pada Pilpres 2009, kaum muda harus berani maju. Peluang terpilihnya pun cukup besar.
"Kaum muda harus berani melakukan perubahan. Berani berbuat, menyongsong Indonesia yang lebih baik. Jangan mau dan membiarkan reformasi ekonomi, reformasi hukum, dan reformasi sosial-budaya menjadi slogan-slogan yang membusuk. Jangan mau hukum menjadi alat kejahatan yang terorganisir dan sistematis. Jangan mau birokrasi jadi penyandera, beban bagi kemajuan, " kata Adhyaksa.
Menurut Menegpora, kondisi Indonesia yang lebih baik itu ditandai antara lain dengan hadirnya lembaga-lembaga hukum tidak kehilangan kredibilitas, lembaga-lembaga negara tidak kehilangan kepercayaan. "Dinamika dan dialog tentang persoalan bangsa harus dibangun, sebagaimana dulu dilakukan Natsir, Soekarno, Hatta, Sudjatmoko. Namun, yang terpenting NKRI adalah harga mati bagi kita," tegasnya.
Tifatul Sembiring mengatakan, pemimpin masa depan yang diharapkan tidak hanya sekadar muda usia, melainkan juga harus segar pemikirannya dan mendalami betul persoalan bangsa. Saat ini masalah utama yang dihadapi bangsa kita ialah kemiskinan, kebodohan, orang sakit tak bisa berobat, dan pesimisme.
"Persoalan bangsa tidak bisa diatasi dengan mengiklankan diri kita. Persoalan bangsa tidak bisa diatasi dengan tebar pesona, tak bisa diatasi dengan nyanyi-nyanyian. Juga tak bisa diatasi, misalnya, dengan main film," paparnya.
Menurut Presiden PKS ini, kaum muda yang layak jadi pemimpin bangsa itu harus mempunyai kredibilitas moral, visioner, spirit, dan kemampuan berkomunikasi. "Asal mememuhi persyaratan itu, siapa pun yang maju, walau bukan dari kaum muda PKS, kita akan dukung. Akan tetapi, antara persoalan bangsa dan pemimpin dari kaum muda yang dipilih itu harus nyambung. Ibarat ujian, jawabannya A, harus benar-benar ada kaitan, " tandasnya.
Budiman Sudjatmiko, yang sempat mengomentari figur calon presiden AS, Barack Obama, mengatakan, untuk bisa menjadi pemimpin bangsa ke depan, siapa pun harus mampu membangun dan merawat institusional building. Sebab, katanya, persoalan bangsa Indonesia saat ini adalah telah terjadinya kebangkrutan bangsa.
"Ini akibat kita terlalu percaya dengan pemimpin yang kaya, sementara kekayaan itu hasil dari pencurian. Dan lebih tragis lagi, ia itu pencuri kawakan. Kaum muda harus menghindari hal ini," ujarnya.
Sementara Khudori dalam paparannya mengatakan, kalau melihat sosok kaum muda, bayangan orang pasti PKS. "Kaum muda ke depan harus mengambil peran sesuai proporsinya. PKS adalah partai fenomenal, yang banyak diteliti," ujarnya. (NAL)
Sumber : KOMPAS
Rabu, 18 Juni 2008
GENCATAN SENJATA GAZA
Diperbaharui pada: 18 Juni, 2008 - Published 09:35 GMT
Email kepada teman Versi cetak
Israel setujui gencatan senjata
Aparat keamanan Hamas di Gaza
Hamas mengatakan pihaknya memiliki komitmen penuh
Israel menyetujui gencatan senjata untuk mengakhiri bentrokan sengit selama berbulan-bulan dengan kelompok Palestina, Hamas, di Gaza, kata para pejabat pemerintah Israel.
Menurut kesepakatan gencatan senjata sekarang ini, yang akan dimulai Kamis pagi, Israel akan mengurangi blokade di Jalur Gaza.
Pada waktu yang sama, pembicaraan tentang tentara Israel yang disekap oleh Hamas akan ditingkatkan, kata seorang pejabat Israel.
Hamas, yang mengendalikan Gaza, mengatakan pihaknya yakin semua pendukung mereka akan menuruti kesepakatan yang dicapai.
Hamas merebut Gaza pada bulan Juni 2007, dan mengusir pihak-pihak yang setia kepada Fatah, faksi politik pimpinan Presiden Otorita Palestina, Mahmoud Abbas.
Sejak itu, Israel, Otorita Palestina dan masyarakat internasional berusaha mengucilkan Hamas.
Bagi Hamas, perjanjian gencatan senjata itu adalah pengakuan bahwa blokade ekonomi oleh Israel di Gaza mengancam Otorita Palestina dan berdampak sangat buruk bagi penduduk Gaza, kata wartawan BBC Wyre Davies di Yerusalem.
Penyeberangan perbatasan
Keputusan untuk menyetujui gencatan senjata itu dibuat oleh Perdana Menteri Israel Ehud Olmert dan Menteri Pertahanan Ehud Barak, setelah pejabat pertahanan Israel kembali dari Kairo, tempat pembicaraan dilakukan dengan mediator Mesir.
Peta
06.00 (10.00 WIB) Kamis gencatan senjata dimulai
Setelah 24 jam, Israel mengendurkan larangan perbatasan
Setelah lima hari, Israel membuka penyeberangan komersial
Setelah dua minggu, Mesir memulai dialog dengan semua pihak tentang pembukaan kembali penyeberangan Rafah
Gencatan senjata dijadwalkan mulai berlaku pada hari Kamis pukul 06.00 waktu setempat (10.00 WIB), dan akan mengakhiri serangan roket dari Gaza serta memudahkan bantuan kemanusiaan masuk ke wilayah Palestina itu.
Namun, masih banyak halangan yang dihadapi untuk mencapai perdamaian jangka panjang, dengan kedua pihak memperingatkan bahwa gencatan senjata akan gagal jika dilanggar, kata wartawan kami.
Juru bicara pemerintah Israel mengatakan Israel ingin gencatan senjata berhasil.
"Hari Kamis, kami berharap, adalah awal baru di mana warga Israel di selatan tidak lagi menerima serangan roket," kata Mark Regev.
Menurut rincian kesepakatan yang dibeberkan Hamas, Israel akan mengendurkan pembatasan pada penyeberangan antara Gaza dan Israel pada Jumat pagi, yang akan diikuti dengan pembukaan penyeberangan komersial yang lebih besar pekan depan.
Setelah dua minggu, perundingan yang melibatkan Israel, Hamas, Otorita Palestina dan Uni Eropa dilakukan untuk membahas pembukaan kembali penyeberangan dari Rafah ke Mesir.
Seorang sumber Israel mengatakan kepada Radio Israel bahwa perundingan tentang pembebasan tentara Israel Gilad Shalit diperkirakan akan dilanjutkan dalam beberapa hari.
Dia mengatakan jika kemajuan dicapai, Israel harus mengambil keputusan tentang pembebasan orang-orang Palestina yang ditahan.
Sebagai bagian dari kesepakatan itu, Mesir juga berniat menghentikan penyelundupan senjata dari wilayahnya ke Gaza, kata para pejabat Israel.
Email kepada teman Versi cetak
Israel setujui gencatan senjata
Aparat keamanan Hamas di Gaza
Hamas mengatakan pihaknya memiliki komitmen penuh
Israel menyetujui gencatan senjata untuk mengakhiri bentrokan sengit selama berbulan-bulan dengan kelompok Palestina, Hamas, di Gaza, kata para pejabat pemerintah Israel.
Menurut kesepakatan gencatan senjata sekarang ini, yang akan dimulai Kamis pagi, Israel akan mengurangi blokade di Jalur Gaza.
Pada waktu yang sama, pembicaraan tentang tentara Israel yang disekap oleh Hamas akan ditingkatkan, kata seorang pejabat Israel.
Hamas, yang mengendalikan Gaza, mengatakan pihaknya yakin semua pendukung mereka akan menuruti kesepakatan yang dicapai.
Hamas merebut Gaza pada bulan Juni 2007, dan mengusir pihak-pihak yang setia kepada Fatah, faksi politik pimpinan Presiden Otorita Palestina, Mahmoud Abbas.
Sejak itu, Israel, Otorita Palestina dan masyarakat internasional berusaha mengucilkan Hamas.
Bagi Hamas, perjanjian gencatan senjata itu adalah pengakuan bahwa blokade ekonomi oleh Israel di Gaza mengancam Otorita Palestina dan berdampak sangat buruk bagi penduduk Gaza, kata wartawan BBC Wyre Davies di Yerusalem.
Penyeberangan perbatasan
Keputusan untuk menyetujui gencatan senjata itu dibuat oleh Perdana Menteri Israel Ehud Olmert dan Menteri Pertahanan Ehud Barak, setelah pejabat pertahanan Israel kembali dari Kairo, tempat pembicaraan dilakukan dengan mediator Mesir.
Peta
06.00 (10.00 WIB) Kamis gencatan senjata dimulai
Setelah 24 jam, Israel mengendurkan larangan perbatasan
Setelah lima hari, Israel membuka penyeberangan komersial
Setelah dua minggu, Mesir memulai dialog dengan semua pihak tentang pembukaan kembali penyeberangan Rafah
Gencatan senjata dijadwalkan mulai berlaku pada hari Kamis pukul 06.00 waktu setempat (10.00 WIB), dan akan mengakhiri serangan roket dari Gaza serta memudahkan bantuan kemanusiaan masuk ke wilayah Palestina itu.
Namun, masih banyak halangan yang dihadapi untuk mencapai perdamaian jangka panjang, dengan kedua pihak memperingatkan bahwa gencatan senjata akan gagal jika dilanggar, kata wartawan kami.
Juru bicara pemerintah Israel mengatakan Israel ingin gencatan senjata berhasil.
"Hari Kamis, kami berharap, adalah awal baru di mana warga Israel di selatan tidak lagi menerima serangan roket," kata Mark Regev.
Menurut rincian kesepakatan yang dibeberkan Hamas, Israel akan mengendurkan pembatasan pada penyeberangan antara Gaza dan Israel pada Jumat pagi, yang akan diikuti dengan pembukaan penyeberangan komersial yang lebih besar pekan depan.
Setelah dua minggu, perundingan yang melibatkan Israel, Hamas, Otorita Palestina dan Uni Eropa dilakukan untuk membahas pembukaan kembali penyeberangan dari Rafah ke Mesir.
Seorang sumber Israel mengatakan kepada Radio Israel bahwa perundingan tentang pembebasan tentara Israel Gilad Shalit diperkirakan akan dilanjutkan dalam beberapa hari.
Dia mengatakan jika kemajuan dicapai, Israel harus mengambil keputusan tentang pembebasan orang-orang Palestina yang ditahan.
Sebagai bagian dari kesepakatan itu, Mesir juga berniat menghentikan penyelundupan senjata dari wilayahnya ke Gaza, kata para pejabat Israel.
Kamis, 12 Juni 2008
Pejuang Palestin Serbu Sempadan
Lain-lain INFO - KLIK DISINI
BANDAR RAYA GAZA - Seramai dua lelaki Israel dan tiga rakyat Palestin terbunuh semalam akibat letupan di Gaza selepas pejuang-pejuang Palestin menyerbu lintasan dengan Israel.
Serangan yang berlaku pada awal pagi itu menyebabkan suasana tenang selama hampir sebulan di Gaza kembali bergolak.
Para pegawai keselamatan Israel berkata, para pejuang Palestin menceroboh sempadan di lintasan Nahal Oz di bandar Gaza dan memasuki Israel dengan sejumlah senjata api.
Kumpulan berkenaan menyebabkan dua rakyat awam Israel terbunuh dalam insiden yang disifatkan cubaan penculikan yang gagal.
Pihak polis berkata seorang rakyat Palestin terbunuh, seorang ditangkap manakala dua lagi berjaya melarikan diri ke Gaza setelah pihak berkuasa bertindak selepas dimaklumkan mengenai kejadian itu.
Operasi berkenaan dipercayai dilakukan oleh Jawatankuasa Rintangan Popular, pergerakan Jihad Islam dan Mujahidin.
Beberapa minit kemudian, sebuah jet tentera Israel membedil sebuah kereta yang dipercayai membawa kumpulan Jihad Islam mengakibatkan tiga cedera termasuk seorang parah, kata para pegawai perubatan.
Operasi darat turut dilancarkan dengan beberapa kereta kebal Israel memasuki Gaza menerusi Nahal Oz menyebabkan dua rakyat awam Palestin terbunuh setelah bedilannya mengenai sebuah rumah berhampiran, kata anggota-anggota perubatan. - AFP
BANDAR RAYA GAZA - Seramai dua lelaki Israel dan tiga rakyat Palestin terbunuh semalam akibat letupan di Gaza selepas pejuang-pejuang Palestin menyerbu lintasan dengan Israel.
Serangan yang berlaku pada awal pagi itu menyebabkan suasana tenang selama hampir sebulan di Gaza kembali bergolak.
Para pegawai keselamatan Israel berkata, para pejuang Palestin menceroboh sempadan di lintasan Nahal Oz di bandar Gaza dan memasuki Israel dengan sejumlah senjata api.
Kumpulan berkenaan menyebabkan dua rakyat awam Israel terbunuh dalam insiden yang disifatkan cubaan penculikan yang gagal.
Pihak polis berkata seorang rakyat Palestin terbunuh, seorang ditangkap manakala dua lagi berjaya melarikan diri ke Gaza setelah pihak berkuasa bertindak selepas dimaklumkan mengenai kejadian itu.
Operasi berkenaan dipercayai dilakukan oleh Jawatankuasa Rintangan Popular, pergerakan Jihad Islam dan Mujahidin.
Beberapa minit kemudian, sebuah jet tentera Israel membedil sebuah kereta yang dipercayai membawa kumpulan Jihad Islam mengakibatkan tiga cedera termasuk seorang parah, kata para pegawai perubatan.
Operasi darat turut dilancarkan dengan beberapa kereta kebal Israel memasuki Gaza menerusi Nahal Oz menyebabkan dua rakyat awam Palestin terbunuh setelah bedilannya mengenai sebuah rumah berhampiran, kata anggota-anggota perubatan. - AFP
Perjanjian Pankor : Satu Coretan Nakal
Posted on Thursday, April 10 @ 08:46:03 MYT by greenboc
Artikel Pendek Oleh alhusseyn
"a
BN kini cuba memburuk-burukkan PAS Perak dengan menyebarkan fitnah kepada rakyat Perak, kononnya PAS Perak ada perjanjian rahsia dengan DAP berkaitan isu perlantikan Menteri Besar Perak. Ramai juga ahli PAS yang terpengaruh dengan fitnah ini seperti penulis blog ~Penarik Beca~. Tuduhan ini dilemparkan untuk memburuk-burukkan PAS Perak dan supaya pakatan rakyat di Perak tumbang menyembang bumi. Ini lah kerja jahat UMNO
Demikian nota secebis yang dinukil oleh ~Maruz~
Perhatikan pula para berikut yang ditulis ~Maruz~ :
4. PERSETUJUAN AWAL PAS PERAK, DAP PERAK & PKR PERAK - Pada malam keputusan pilihanraya umum dikeluarkan di mana BN gagal memperoleh majoriti mudah bagi membentuk kerajaan, Barisan Rakyat Perak (DAP-PAS-PKR) telah bersetuju untuk membentuk kerajaan campuran dan kesemua parti (DAP Perak, PAS Perak dan PKR Perak) bersetuju untuk memilih Ir. Muhammad Nizar Jamaluddin (SU Badan Perhubungan PAS Perak yang juga ADUN Pasir Panjang) sebagai calon Menteri Besar Perak sebelum mendapat nasihat daripada pimpinan pusat parti masing-masing.
Tulisan sahabat saya ~Penarik Beca~ adalah jelas bersumberkan para (4) diatas yang ditulis oleh ~Maruz~ seperti apa yang diperakukannya sendiri.
Dengan hanya bersumberkan para (4) tersebut, maka terciptalah oleh sahabat saya ~Penarik Beca~ istilah ~Perjanjian Pangkor~
Persoalannya : Adakah benar wujudnya ~Perjanjian Pangkor~ tersebut? Inilah pokok bicaranya.
Apa benarkah PAS Perak sangat 'jakun dengan sedikit kuasa' sehingga menyebabkan pimpinan pusat 'ternganga-nganga' dan 'beberapa orang dari mereka naik angin' apabila mendapat tahu tentang perjanjian penuh petaka itu?
Lagi sekali, persoalannya : Adakah benar wujudnya ~Perjanjian Pangkor~ tersebut? Inilah pokok bicaranya.
Sahabat saya ~Penarik Beca~ disini sendiri mengakui tidak mengetahui tentang apa benda isinya ~Perjanjian Pangkor~ istilah yang dia sendiri yang mencipatanya. Lihat perakuannya berikut :
Mengenai "Penjanjian Pangkor", apa pula kandungannya? Saya tidak tahu dan jutaan ahli dan penyokong PAS yang lain juga tidak tahu. Sumber dari kampung saya di Taiping memberitahu, beliau dimaklumkan bahawa dalam perjanjian itu terdapat perkataan yang sangat menyinggung perasaannya. Perkataan itu ialah "undertake".
Lagi sekali, persoalannya: Adakah benar wujudnya ~Perjanjian Pangkor~ tersebut? Inilah pokok bicaranya.
Kewujudan ~Perjanjian Pangkor~ seperti apa yang didakwa adalah lebih kepada andaian ~Penarik Beca~, kerana beliau sendiri tidak mampu menyakinkan sesiapa pun selain hanya menimbulkan keraguan beberapa ahli PAS lantaran beliau mengaitkannya dengan 'pimpinan pusat yang naik angin'.
Siapa yang naik angin? Tidak pula beliau nyatakan.Mengapa pemikiran kita cuba dikaburi dengan persoalan tersebut ?
Sebagai penulis yang sudah lama established dan berpengalaman luas, beliau sepatutnya melakukan sedikit research. Ah! beliau bukan tidak ada kekawan di Ipoh ni.Bukan tidak boleh singgah kalau balik Matang atau Taiping! Ipoh dari Greenwood bukan jauh sangat ; Dan boleh 'face to face' dengan Nizar tak kan tak sanggup bersemuka sesame orang kita in search of the truth?
Kalau sungguh Nizar dan kepimpinan PAS Perak terlalu geraguk nak 'kuasa' hingga terpaksa membuat 'Perjanjian Pangkor' , alahai, bukankah lebih baik mereka menerima tawaran Umno/BN yang mempunyai 27 wakil daripada orang Melayu dan hanya 1 daripada bukan Melayu?Dan tidak perlu kepada Perjanjian Pangkor kerana Umno/BN sudah lama isytiharkan Malaysia sebuah negara Islam!
Malah Umno /BN , khabarnya , melalui Mufti Perak sanggup menyerahkan jawatan Menteri Besar dan 4 kerusi Exco dan Speaker DUN Perak kepada PAS sebagai balasan untuk bersetuju berpakat dengan UMNO bagi membentuk kerajaan di Perak.
Dan saya rasa , tawaran BN/Umno tidak berhenti setakad itu sahaja. Dan kalau Nizar bersama pemimpin PAS Perak umpama 'Limau Purut Enam Serangkai- buta perut tak ada akai' tentu kita semua menjadi 'pengkor'.
Saya percaya , sahabat saya, Penarik Beca bukan jenis 'limau purut yang berangakai' cuma coretannya agak 'nakai' sikit!
"WAHAI JIWA-JIWA YANG TENANG JANGAN SEKALI-KALI KAMU MENCUBA JADI TUHAN DENGAN MENGADILI DAN MENGHAKIMI.BAHWASAN YA KAMU MEMANG TAK PUNYA DAYA DAN UPAYA,SERTA KEKUATAN UNTUK MENENTUKAN KEBENARAN YANG SEJATI.BUKANKAH KITA MEMANG TERCIPTA LAKI-LAKI DAN WANITA,SERTA SUKU-SUKU DAN BANGSA-BANGSA YANG PASTI BERBEZA.BUKANKAH KITA MEMANG HARUS SALING MENGENAL DAN MENGHORMATI, BUKAN UNTUK SALING BERCERAI-BERAI DAN BERPERANG ANGKAT SENJATA!"
"Wahai orang-orang yang beriman!Jika datang kepada kamu sesuatu berita,maka selidikilah kebenarannya, supaya kamu tidak menimpakan sesuatu kaum dengan perkara yang tidak diingini dengan sebab kejahilan kamu ( mengenainya ) sehingga menjadikan kamu menyesali apa yang kamu lakukan." ( al-Qur'an,al-Hujurat ( 49 ):6 ).
Artikel Pendek Oleh alhusseyn
"a
BN kini cuba memburuk-burukkan PAS Perak dengan menyebarkan fitnah kepada rakyat Perak, kononnya PAS Perak ada perjanjian rahsia dengan DAP berkaitan isu perlantikan Menteri Besar Perak. Ramai juga ahli PAS yang terpengaruh dengan fitnah ini seperti penulis blog ~Penarik Beca~. Tuduhan ini dilemparkan untuk memburuk-burukkan PAS Perak dan supaya pakatan rakyat di Perak tumbang menyembang bumi. Ini lah kerja jahat UMNO
Demikian nota secebis yang dinukil oleh ~Maruz~
Perhatikan pula para berikut yang ditulis ~Maruz~ :
4. PERSETUJUAN AWAL PAS PERAK, DAP PERAK & PKR PERAK - Pada malam keputusan pilihanraya umum dikeluarkan di mana BN gagal memperoleh majoriti mudah bagi membentuk kerajaan, Barisan Rakyat Perak (DAP-PAS-PKR) telah bersetuju untuk membentuk kerajaan campuran dan kesemua parti (DAP Perak, PAS Perak dan PKR Perak) bersetuju untuk memilih Ir. Muhammad Nizar Jamaluddin (SU Badan Perhubungan PAS Perak yang juga ADUN Pasir Panjang) sebagai calon Menteri Besar Perak sebelum mendapat nasihat daripada pimpinan pusat parti masing-masing.
Tulisan sahabat saya ~Penarik Beca~ adalah jelas bersumberkan para (4) diatas yang ditulis oleh ~Maruz~ seperti apa yang diperakukannya sendiri.
Dengan hanya bersumberkan para (4) tersebut, maka terciptalah oleh sahabat saya ~Penarik Beca~ istilah ~Perjanjian Pangkor~
Persoalannya : Adakah benar wujudnya ~Perjanjian Pangkor~ tersebut? Inilah pokok bicaranya.
Apa benarkah PAS Perak sangat 'jakun dengan sedikit kuasa' sehingga menyebabkan pimpinan pusat 'ternganga-nganga' dan 'beberapa orang dari mereka naik angin' apabila mendapat tahu tentang perjanjian penuh petaka itu?
Lagi sekali, persoalannya : Adakah benar wujudnya ~Perjanjian Pangkor~ tersebut? Inilah pokok bicaranya.
Sahabat saya ~Penarik Beca~ disini sendiri mengakui tidak mengetahui tentang apa benda isinya ~Perjanjian Pangkor~ istilah yang dia sendiri yang mencipatanya. Lihat perakuannya berikut :
Mengenai "Penjanjian Pangkor", apa pula kandungannya? Saya tidak tahu dan jutaan ahli dan penyokong PAS yang lain juga tidak tahu. Sumber dari kampung saya di Taiping memberitahu, beliau dimaklumkan bahawa dalam perjanjian itu terdapat perkataan yang sangat menyinggung perasaannya. Perkataan itu ialah "undertake".
Lagi sekali, persoalannya: Adakah benar wujudnya ~Perjanjian Pangkor~ tersebut? Inilah pokok bicaranya.
Kewujudan ~Perjanjian Pangkor~ seperti apa yang didakwa adalah lebih kepada andaian ~Penarik Beca~, kerana beliau sendiri tidak mampu menyakinkan sesiapa pun selain hanya menimbulkan keraguan beberapa ahli PAS lantaran beliau mengaitkannya dengan 'pimpinan pusat yang naik angin'.
Siapa yang naik angin? Tidak pula beliau nyatakan.Mengapa pemikiran kita cuba dikaburi dengan persoalan tersebut ?
Sebagai penulis yang sudah lama established dan berpengalaman luas, beliau sepatutnya melakukan sedikit research. Ah! beliau bukan tidak ada kekawan di Ipoh ni.Bukan tidak boleh singgah kalau balik Matang atau Taiping! Ipoh dari Greenwood bukan jauh sangat ; Dan boleh 'face to face' dengan Nizar tak kan tak sanggup bersemuka sesame orang kita in search of the truth?
Kalau sungguh Nizar dan kepimpinan PAS Perak terlalu geraguk nak 'kuasa' hingga terpaksa membuat 'Perjanjian Pangkor' , alahai, bukankah lebih baik mereka menerima tawaran Umno/BN yang mempunyai 27 wakil daripada orang Melayu dan hanya 1 daripada bukan Melayu?Dan tidak perlu kepada Perjanjian Pangkor kerana Umno/BN sudah lama isytiharkan Malaysia sebuah negara Islam!
Malah Umno /BN , khabarnya , melalui Mufti Perak sanggup menyerahkan jawatan Menteri Besar dan 4 kerusi Exco dan Speaker DUN Perak kepada PAS sebagai balasan untuk bersetuju berpakat dengan UMNO bagi membentuk kerajaan di Perak.
Dan saya rasa , tawaran BN/Umno tidak berhenti setakad itu sahaja. Dan kalau Nizar bersama pemimpin PAS Perak umpama 'Limau Purut Enam Serangkai- buta perut tak ada akai' tentu kita semua menjadi 'pengkor'.
Saya percaya , sahabat saya, Penarik Beca bukan jenis 'limau purut yang berangakai' cuma coretannya agak 'nakai' sikit!
"WAHAI JIWA-JIWA YANG TENANG JANGAN SEKALI-KALI KAMU MENCUBA JADI TUHAN DENGAN MENGADILI DAN MENGHAKIMI.BAHWASAN YA KAMU MEMANG TAK PUNYA DAYA DAN UPAYA,SERTA KEKUATAN UNTUK MENENTUKAN KEBENARAN YANG SEJATI.BUKANKAH KITA MEMANG TERCIPTA LAKI-LAKI DAN WANITA,SERTA SUKU-SUKU DAN BANGSA-BANGSA YANG PASTI BERBEZA.BUKANKAH KITA MEMANG HARUS SALING MENGENAL DAN MENGHORMATI, BUKAN UNTUK SALING BERCERAI-BERAI DAN BERPERANG ANGKAT SENJATA!"
"Wahai orang-orang yang beriman!Jika datang kepada kamu sesuatu berita,maka selidikilah kebenarannya, supaya kamu tidak menimpakan sesuatu kaum dengan perkara yang tidak diingini dengan sebab kejahilan kamu ( mengenainya ) sehingga menjadikan kamu menyesali apa yang kamu lakukan." ( al-Qur'an,al-Hujurat ( 49 ):6 ).
Kerajaan gali kubur sendiri jika diskriminasi negeri dikuasai PR
Mohd Sabri Said
Thu | Apr 10, 08 | 4:35:58 pm MYT
GEORGETOWN, 10 April (Hrkh) - Kerajaan Persekutuan ibarat 'mengali kubur sendiri' jika mengamalkan diskriminasi terhadap lima negeri yang kini diterajui Pakatan Rakyat (PR), kata Ketua Lajnah Ekonomi Badan Perhubungan PAS Negeri Pulau Pinang, Zulkifli Md Lazim.
Katanya, sebahagian besar sektor ekonomi negara termasuk pelancongan, perindustrian dan perladangan terdapat di negeri-negeri yang ditadbir kerajaan pakatan PAS-DAP-KeADILan.
Bagi mengelak daripada menerima nasib buruk, Kerajaan Persekutuan wajar membuang tabiat buruk yang selama ini menjadi amalan mereka selain suka menafikan hak peruntukan kewangan pada negeri yang tidak dimenangi BN, katanya.
"Tindakan atau sikap Kerajaan Persekutuan perlu diperbaharui selaras dengan kemajuan yang dikecapi negara hari ini.�Jangan jadikan amalan buruk seperti membalas dendam yang tidak berkesudahan," ujarnya ketika ditemui di Hotel Shangrila bersama rombongan Speaker dan lapan Adun Kelantan yang datang berkunjung hormat kepada Ketua Menteri Pulau Pinang, Lim Guan Eng semalam.
Beliau bertanya, apa salahnya jika Kerajaan Persekutuan menjalinkan hubungan mesra dengan Kerajaan PR kerana ia memberi impak yang baik lebih-lebih lagi pada semua rakyat.
Negeri Pulau Pinang ada sektor industri dan pelancongan yang memang seimbang, Kedah jelapang padi dan pelancongan, Perak dan Selangor pula dianggap antara negeri termaju, masing-masing ada kelebihan yang seharusnya dikongsi bersama kerana kelima-lima negeri berada dalam sebuah negara bernama 'Malaysia', katanya.
"Apa kata kalau Pulau Pinang, Kedah, Perak, Selangor dan Kelantan diabaikan langsung, siapa yang rugi tentulah Malaysia sebab negeri-negeri berkenaan berada dalam Persekutuan," katanya.
Kepimpinan Kerajaan Persekutuan jelas beliau, wajar mengkaji semula sikap terburu-buru sesetengah menteri yang dengan sombong mendakwa tidak boleh kerjasama dengan kerajaan PR kerana cemburu rakyat menolak rakan karib mereka semasa pilihan raya umum pada 8 Mac lalu.
Kata Zulkifli, Kerajaan Persekutuan juga perlu menerima dengan dada terbuka kerjasama kerana kelima-lima negeri merupakan pintu masuk ekonomi, pelancongan serta pelaburan utama negara.
Beliau sebagai penerajui Lajnah Ekonomi Badan Perhubungan PAS Pulau Pinang memberikan sokongan penuh terhadap usaha kerajaan pimpinan Ketua Menteri melaksanakan pengagihan ekonomi kepada rakyat tanpa memilih kroni seperti yang menjadi amalan (BN) sebelum ini.
Turut mengiringi rombongan Speaker dan Adun Kelantan itu adalah Ahli Jawatankuasa PAS Negeri, Saiful Lizan Mohd Yusuf. - lanh �
--
"WAHAI JIWA-JIWA YANG TENANG JANGAN SEKALI-KALI KAMU MENCUBA JADI TUHAN DENGAN MENGADILI DAN MENGHAKIMI.BAHWASAN YA KAMU MEMANG TAK PUNYA DAYA DAN UPAYA,SERTA KEKUATAN UNTUK MENENTUKAN KEBENARAN YANG SEJATI.BUKANKAH KITA MEMANG TERCIPTA LAKI-LAKI DAN WANITA,SERTA SUKU-SUKU DAN BANGSA-BANGSA YANG PASTI BERBEZA.BUKANKAH KITA MEMANG HARUS SALING MENGENAL DAN MENGHORMATI, BUKAN UNTUK SALING BERCERAI-BERAI DAN BERPERANG ANGKAT SENJATA!"
"Wahai orang-orang yang beriman!Jika datang kepada kamu sesuatu berita,maka selidikilah kebenarannya, supaya kamu tidak menimpakan sesuatu kaum dengan perkara yang tidak diingini dengan sebab kejahilan kamu ( mengenainya ) sehingga menjadikan kamu menyesali apa yang kamu lakukan." ( al-Qur'an,al-Hujurat ( 49 ):6 ).
Thu | Apr 10, 08 | 4:35:58 pm MYT
GEORGETOWN, 10 April (Hrkh) - Kerajaan Persekutuan ibarat 'mengali kubur sendiri' jika mengamalkan diskriminasi terhadap lima negeri yang kini diterajui Pakatan Rakyat (PR), kata Ketua Lajnah Ekonomi Badan Perhubungan PAS Negeri Pulau Pinang, Zulkifli Md Lazim.
Katanya, sebahagian besar sektor ekonomi negara termasuk pelancongan, perindustrian dan perladangan terdapat di negeri-negeri yang ditadbir kerajaan pakatan PAS-DAP-KeADILan.
Bagi mengelak daripada menerima nasib buruk, Kerajaan Persekutuan wajar membuang tabiat buruk yang selama ini menjadi amalan mereka selain suka menafikan hak peruntukan kewangan pada negeri yang tidak dimenangi BN, katanya.
"Tindakan atau sikap Kerajaan Persekutuan perlu diperbaharui selaras dengan kemajuan yang dikecapi negara hari ini.�Jangan jadikan amalan buruk seperti membalas dendam yang tidak berkesudahan," ujarnya ketika ditemui di Hotel Shangrila bersama rombongan Speaker dan lapan Adun Kelantan yang datang berkunjung hormat kepada Ketua Menteri Pulau Pinang, Lim Guan Eng semalam.
Beliau bertanya, apa salahnya jika Kerajaan Persekutuan menjalinkan hubungan mesra dengan Kerajaan PR kerana ia memberi impak yang baik lebih-lebih lagi pada semua rakyat.
Negeri Pulau Pinang ada sektor industri dan pelancongan yang memang seimbang, Kedah jelapang padi dan pelancongan, Perak dan Selangor pula dianggap antara negeri termaju, masing-masing ada kelebihan yang seharusnya dikongsi bersama kerana kelima-lima negeri berada dalam sebuah negara bernama 'Malaysia', katanya.
"Apa kata kalau Pulau Pinang, Kedah, Perak, Selangor dan Kelantan diabaikan langsung, siapa yang rugi tentulah Malaysia sebab negeri-negeri berkenaan berada dalam Persekutuan," katanya.
Kepimpinan Kerajaan Persekutuan jelas beliau, wajar mengkaji semula sikap terburu-buru sesetengah menteri yang dengan sombong mendakwa tidak boleh kerjasama dengan kerajaan PR kerana cemburu rakyat menolak rakan karib mereka semasa pilihan raya umum pada 8 Mac lalu.
Kata Zulkifli, Kerajaan Persekutuan juga perlu menerima dengan dada terbuka kerjasama kerana kelima-lima negeri merupakan pintu masuk ekonomi, pelancongan serta pelaburan utama negara.
Beliau sebagai penerajui Lajnah Ekonomi Badan Perhubungan PAS Pulau Pinang memberikan sokongan penuh terhadap usaha kerajaan pimpinan Ketua Menteri melaksanakan pengagihan ekonomi kepada rakyat tanpa memilih kroni seperti yang menjadi amalan (BN) sebelum ini.
Turut mengiringi rombongan Speaker dan Adun Kelantan itu adalah Ahli Jawatankuasa PAS Negeri, Saiful Lizan Mohd Yusuf. - lanh �
--
"WAHAI JIWA-JIWA YANG TENANG JANGAN SEKALI-KALI KAMU MENCUBA JADI TUHAN DENGAN MENGADILI DAN MENGHAKIMI.BAHWASAN YA KAMU MEMANG TAK PUNYA DAYA DAN UPAYA,SERTA KEKUATAN UNTUK MENENTUKAN KEBENARAN YANG SEJATI.BUKANKAH KITA MEMANG TERCIPTA LAKI-LAKI DAN WANITA,SERTA SUKU-SUKU DAN BANGSA-BANGSA YANG PASTI BERBEZA.BUKANKAH KITA MEMANG HARUS SALING MENGENAL DAN MENGHORMATI, BUKAN UNTUK SALING BERCERAI-BERAI DAN BERPERANG ANGKAT SENJATA!"
"Wahai orang-orang yang beriman!Jika datang kepada kamu sesuatu berita,maka selidikilah kebenarannya, supaya kamu tidak menimpakan sesuatu kaum dengan perkara yang tidak diingini dengan sebab kejahilan kamu ( mengenainya ) sehingga menjadikan kamu menyesali apa yang kamu lakukan." ( al-Qur'an,al-Hujurat ( 49 ):6 ).
Mantan Raja Nepal tinggalkan istana

Diperbaharui pada: 11 Juni, 2008 - Published 14:52 GMT
Email kepada teman Versi cetak
Raja Gyanendra kini akan tinggal di luar istana
Mantan Raja Nepal Gyanendra telah keluar dari kompleks istana yang telah menjadi rumah keluarganya selama lebih dari 100 tahun.
Gyanendra dan istrinya, bekas ratu Komal, keluar dari kompleks istana dengan sebuah mobil Mercedez hitam sementara puluhan petugas polisi antikerusuhan menjaga gerbang utama.
Dlam pernyataan pers sebelum bertolak, dia mengatakan, dia akan bekerja demi kebaikan republik baru.
Dia juga mengatakan telah menyerahkan mahkota dan tongkat kebesaran kerajaan kepada pemerintah.
Raja yang lengserkan dan istrinya akan pindah ke sebuah kediaman sementara di luar ibukota.
Bulan lalu, Majelis Nasional Nepal yang dipimpin Maois memberikan suara setuju untuk menghapuskan kerajaan.
Istana di pusat kota Kathmandu akan menjadi museum.
"Saya telah mendukung dan mendukung keputusan bangsa," kata Gyanendra, dan menegaskan dia "tidak akan meninggalkan negara ini" dan mengasingkan diri.
"Mahkota dan tongkat kebesaran yang dipergunakan oleh dinasti Shah, saya telah serahkan kepada pemerintah Nepal," tambahnya.
Para wartawan mengatakan, mantan raja duduk di atas kursi dikelilingi dengan hasil perburuan, termasuk dua harimau dan kepala badak yang diawetkan.
Ini merupakan pernyataan pertama Gyanendra sejak Nepal dimaklumatkan sebagai republik pada 28 Mei.
Gyanendra juga menyatakan dalam pidatonya bahwa dia tidak menumpuk kekayaan dalam jumlah sangat besar, dan membantah "desas-desus" di Nepal bahwa dia terlibat dalam pembantaian di istana pada tahun 2001 yang mengantar dia tahta kerajaan.
"Pada tahun 2001, saya bahkan tidak meratapi kematian saudara dan saudara ipar saya serta kemenakan-kemenakan saya," katanya. "Tuduhan-tuduhan itu yang ditujukan kepada kami tidak manusiawi."
Dia menekankan bahwa beberapa peluru mengeram di tubuh istrinya akibat penembakan tersebut.
Kediaman baru mantan raja di Nagarjun di pinggiran barat laut Kathmandu berupa rumah besar, nyaman tapi terlihat biasa.
Ibu tiri dan selir kakeknya akan tinggal di rumah mereka dalam kompleks istana Kathmandu di sebuah kawasan yang dipagari.
Wartawan BBC Charles Haviland di Kathmandu mengatakan, kepergian sang mantan raja akan menjadi saat simbolis penting dalam kejatuhan dinasti Shah, yang mempersatukan Nepal pada 1760-an.
Orang-orang Maois, yang mendesak Gyanendra agar lengser secara terhormat atau diadili, menyambut kabar bahwa dia pergi tanpa keributan.
Namun, para wartawan mengatakan, secara keseluruhan berakhirnya kerajaan Nepal terasa getir, yang dipicu ileh pembantaian misterius anggota keluarga kerajaan tahun 2001 dan upaya Gyanendra untuk aktif secara politik dalam membasmi pemberontakan Maois.
Kamis, 05 Juni 2008
Islam kian mekar di Rusia
(5203 belum dibaca) Yahoo! Mail, opung_regar: "Islam kian mekar di Rusia
Oleh Olga Madimovna Vasilevskaya
SEbahagian umat Islam Rusia yang mengikuti kelas fardu ain termasuk al-Quran.
Kedatangan Presiden Vladimir Putin ke Malaysia pada Ogos 2003 dan kehadirannya pada persidangan ke-10 Pertubuhan Persidangan Islam (OIC) membawa sinar baru kepada hubungan Islam Rusia-Malaysia. Malah, kini disifatkan sebagai zaman membangun Rusia terhadap agama Islam selepas 'tidur' agak lama di zaman Kesatuan Soviet.
Wakil Jabatan Dialog dengan Pertubuhan-pertubuh an Tempatan Islam Rusia, Marat Hazrat berkata, secara perlahan-lahan kini masyarakat mula sedar bahawa mereka sudah jauh meninggalkan agama.
Katanya, Kerajaan Rusia juga semakin menyokong perkembangan agama di mana jika dulu, Mufti Besar Sheikh Rawil Gainutdin hanya dipanggil dua kali setahun ke Kremlin untuk berbincang dengan presiden, kini beliau semakin kerap dipanggil.
'Kerajaan Rusia memberi sokongan kepada perkembangan Islam di sini. Contohnya masjid yang sedang dalam pembinaan adalah di bawah naungan kerajaan Rusia,' katanya ketika ditemui, baru-baru ini.
Kata Marat, pengaruh Putin dan minatnya terhadap hal-ehwal agama membantu merealisasikan pembinaan masjid tersebut.
Selain itu, kawasan masjid akan diperluaskan dan umat Islam mendapat beberapa bangunan baru. 'Antaranya, bangunan Russia Mufties Council. Di kawasan ini, akan terdapat"
Oleh Olga Madimovna Vasilevskaya
SEbahagian umat Islam Rusia yang mengikuti kelas fardu ain termasuk al-Quran.
Kedatangan Presiden Vladimir Putin ke Malaysia pada Ogos 2003 dan kehadirannya pada persidangan ke-10 Pertubuhan Persidangan Islam (OIC) membawa sinar baru kepada hubungan Islam Rusia-Malaysia. Malah, kini disifatkan sebagai zaman membangun Rusia terhadap agama Islam selepas 'tidur' agak lama di zaman Kesatuan Soviet.
Wakil Jabatan Dialog dengan Pertubuhan-pertubuh an Tempatan Islam Rusia, Marat Hazrat berkata, secara perlahan-lahan kini masyarakat mula sedar bahawa mereka sudah jauh meninggalkan agama.
Katanya, Kerajaan Rusia juga semakin menyokong perkembangan agama di mana jika dulu, Mufti Besar Sheikh Rawil Gainutdin hanya dipanggil dua kali setahun ke Kremlin untuk berbincang dengan presiden, kini beliau semakin kerap dipanggil.
'Kerajaan Rusia memberi sokongan kepada perkembangan Islam di sini. Contohnya masjid yang sedang dalam pembinaan adalah di bawah naungan kerajaan Rusia,' katanya ketika ditemui, baru-baru ini.
Kata Marat, pengaruh Putin dan minatnya terhadap hal-ehwal agama membantu merealisasikan pembinaan masjid tersebut.
Selain itu, kawasan masjid akan diperluaskan dan umat Islam mendapat beberapa bangunan baru. 'Antaranya, bangunan Russia Mufties Council. Di kawasan ini, akan terdapat"
Proses Penerbitan Bku
Oleh: Manik Praba
Sumber: Penerbit.net
Bicara soal proses Penerbitan cukup panjang, tetapi saya gambarkan secara umum sbb:
- Misalkan anda sebagai pengarang ingin mengajukan naskah kumpulan puisi ke Penerbit A.
- Yang anda ajukan cukup naskahnya dalam bentuk ketikan (misalnya Ms Word) dan bisa disertai print outnya agar memudahkan Penerbit dalam memproses naskah tsb. Penerbit biasanya memberikan banyak kemudahan bagi pengarang yg sudah banyak mengarang buku. Penerbit mau saja menerima kiriman naskah melalui email dsb.
- Penerbit akan menentukan apakah naskah tsb layak diterbitkan dan kira2 dibutuhkan masyarakat (ada penilaian terhadap isi naskah maupun kwalitas/ bobot pengarangnya)
- Lalu Penerbit akan mengontak pengarang dan membicarakan isi naskah maupun honor.
- Sistem honor tergantung sistem yg dianut oleh Penerbit. Bisa bersifat langsam (seolah naskah tsb dibeli oleh Penerbit) dengan memberi harga pada naskah tsb, misalnya dibeli seharga Rp 3.000.000.- dan dibayar secara sekaligus atau bertahap. Tergantung pengajuan Penerbit dan disetujui oleh pengarang.
Kerugian sistem ini bagi pengarang adalah:
Penerbit bisa mencetak naskah tsb dalam jumlah banyak dan bisa dicetak beberapa kali, tanpa memberi honor tambahan lagi kepada pengarang.
- Bisa juga dengan sistem Royalti dimana pengarang memperoleh persentase terhadap harga naskah/ buku tsb. Rata2 nilai royalti: 10% s/d 15% dari harga buku yang terjual. Pengarang2 yg sudah terkenal sering ditawari honor yang tinggi karena Penerbit yakin buku karangannya bakal laku keras. Misalnya: buku tsb akan dicetak sebanyak 5.000 buah/eksamplar dan dijual dengan harga Rp 15.000.- per eksamplar. Maka pengarang akan memperoleh honor (dianggap semua buku terjual): 10% x 5.000 x Rp 15.000.- Sering pembayaran ini pun dilakukan secara bertahap misalnya 1 x 3 bulan atau 1 x 6 bulan.
Bila buku tsb dicetak ulang lagi, maka Penerbit membuat perjanjian lagi dan pengarang akan memperoleh royalti lagi. Biasanya Penerbit akan mengontak pengarang lagi untuk cetak ulang (karena bisa jadi pengarang tidak bersedia lagi dan mau pindah ke Penerbit lain).
Bila sistem honor telah disepakati bagaimana dengan naskah itu sendiri?
Dengan menggunakan softcopy naskah yg diberikan dalam bentuk ketikan MsWord tsb, Penerbit akan mengolahnya dan mengatur layout serta membuat desain covernya. Desain cover bisa juga diajukan oleh pengarang bila pengarang juga seorang yg ahli dalam desain. Setelah desain cover dan layout isi buku telah selesai, maka akan dimulai proses cetak.
Proses cetak sering dimulai dengan mencetak contoh (dummy) dulu dan melihat hasilnya agar kelak tidak terjadi kesalahan besar. Setelah itu akan dilakukan proses cetak sejumlah yg diinginkan (misalnya: 5.000 buah buku).
Penerbit akan memberikan buku contoh hasil cetakan bagi pengarang untuk file pribadinya dan kemudian Penerbit akan melakukan pembayaran kepada pengarang sesuai Perjanjian yg telah disepakati/ditandatangani. Bila buku tsb ingin dicetak terus dan ternyata pengarangnya telah meninggal, maka perjanjian dan hak pembayaran royalti akan diberikan kepada ahli waris (istri/ anaknya) dan seterusnya Penerbit akan berurusan dengan ahli warisnya.
Penerbit akan menyebarkan buku tsb ke toko buku untuk dibeli oleh masyarakat.
Perjanjian Royalti adalah antara pengarang dan Penerbit, sedangkan Hak Cipta adalah Hak Pengarang yang bisa diurus oleh pengarang dengan mendaftarkannya ke Departement Kehakiman & HAM, Direktorat Hak Cipta.
Penerbit tidak mengurus Hak Cipta karena Hak Cipta adalah urusan pengarang (kecuali naskah tsb telah dibeli oleh Penerbit dan sepenuhnya menjadi hak milik Penerbit).
Tidak banyak buku yg didaftarkan Hak Ciptanya oleh pengarang, biasanya buku2 yg sangat terkenal atau buku yg bakal dibutuhkan terus yg didaftarkan Hak Ciptanya oleh pengarang. Contohnya: buku cerita Wiro Sableng didaftarkan oleh pengarangnya ke Dept. Kehakiman & HAM.
Demikian gambaran singkat tentang penerbitan, royalti dan Hak Cipta.
Semoga Bermanfaat.http://www.klubhausbuku.wordpress.com
Sumber: Penerbit.net
Bicara soal proses Penerbitan cukup panjang, tetapi saya gambarkan secara umum sbb:
- Misalkan anda sebagai pengarang ingin mengajukan naskah kumpulan puisi ke Penerbit A.
- Yang anda ajukan cukup naskahnya dalam bentuk ketikan (misalnya Ms Word) dan bisa disertai print outnya agar memudahkan Penerbit dalam memproses naskah tsb. Penerbit biasanya memberikan banyak kemudahan bagi pengarang yg sudah banyak mengarang buku. Penerbit mau saja menerima kiriman naskah melalui email dsb.
- Penerbit akan menentukan apakah naskah tsb layak diterbitkan dan kira2 dibutuhkan masyarakat (ada penilaian terhadap isi naskah maupun kwalitas/ bobot pengarangnya)
- Lalu Penerbit akan mengontak pengarang dan membicarakan isi naskah maupun honor.
- Sistem honor tergantung sistem yg dianut oleh Penerbit. Bisa bersifat langsam (seolah naskah tsb dibeli oleh Penerbit) dengan memberi harga pada naskah tsb, misalnya dibeli seharga Rp 3.000.000.- dan dibayar secara sekaligus atau bertahap. Tergantung pengajuan Penerbit dan disetujui oleh pengarang.
Kerugian sistem ini bagi pengarang adalah:
Penerbit bisa mencetak naskah tsb dalam jumlah banyak dan bisa dicetak beberapa kali, tanpa memberi honor tambahan lagi kepada pengarang.
- Bisa juga dengan sistem Royalti dimana pengarang memperoleh persentase terhadap harga naskah/ buku tsb. Rata2 nilai royalti: 10% s/d 15% dari harga buku yang terjual. Pengarang2 yg sudah terkenal sering ditawari honor yang tinggi karena Penerbit yakin buku karangannya bakal laku keras. Misalnya: buku tsb akan dicetak sebanyak 5.000 buah/eksamplar dan dijual dengan harga Rp 15.000.- per eksamplar. Maka pengarang akan memperoleh honor (dianggap semua buku terjual): 10% x 5.000 x Rp 15.000.- Sering pembayaran ini pun dilakukan secara bertahap misalnya 1 x 3 bulan atau 1 x 6 bulan.
Bila buku tsb dicetak ulang lagi, maka Penerbit membuat perjanjian lagi dan pengarang akan memperoleh royalti lagi. Biasanya Penerbit akan mengontak pengarang lagi untuk cetak ulang (karena bisa jadi pengarang tidak bersedia lagi dan mau pindah ke Penerbit lain).
Bila sistem honor telah disepakati bagaimana dengan naskah itu sendiri?
Dengan menggunakan softcopy naskah yg diberikan dalam bentuk ketikan MsWord tsb, Penerbit akan mengolahnya dan mengatur layout serta membuat desain covernya. Desain cover bisa juga diajukan oleh pengarang bila pengarang juga seorang yg ahli dalam desain. Setelah desain cover dan layout isi buku telah selesai, maka akan dimulai proses cetak.
Proses cetak sering dimulai dengan mencetak contoh (dummy) dulu dan melihat hasilnya agar kelak tidak terjadi kesalahan besar. Setelah itu akan dilakukan proses cetak sejumlah yg diinginkan (misalnya: 5.000 buah buku).
Penerbit akan memberikan buku contoh hasil cetakan bagi pengarang untuk file pribadinya dan kemudian Penerbit akan melakukan pembayaran kepada pengarang sesuai Perjanjian yg telah disepakati/ditandatangani. Bila buku tsb ingin dicetak terus dan ternyata pengarangnya telah meninggal, maka perjanjian dan hak pembayaran royalti akan diberikan kepada ahli waris (istri/ anaknya) dan seterusnya Penerbit akan berurusan dengan ahli warisnya.
Penerbit akan menyebarkan buku tsb ke toko buku untuk dibeli oleh masyarakat.
Perjanjian Royalti adalah antara pengarang dan Penerbit, sedangkan Hak Cipta adalah Hak Pengarang yang bisa diurus oleh pengarang dengan mendaftarkannya ke Departement Kehakiman & HAM, Direktorat Hak Cipta.
Penerbit tidak mengurus Hak Cipta karena Hak Cipta adalah urusan pengarang (kecuali naskah tsb telah dibeli oleh Penerbit dan sepenuhnya menjadi hak milik Penerbit).
Tidak banyak buku yg didaftarkan Hak Ciptanya oleh pengarang, biasanya buku2 yg sangat terkenal atau buku yg bakal dibutuhkan terus yg didaftarkan Hak Ciptanya oleh pengarang. Contohnya: buku cerita Wiro Sableng didaftarkan oleh pengarangnya ke Dept. Kehakiman & HAM.
Demikian gambaran singkat tentang penerbitan, royalti dan Hak Cipta.
Semoga Bermanfaat.http://www.klubhausbuku.wordpress.com
Kamis, 22 Mei 2008
New study yields instructive results on how Mindset affects Learning
BY LISA TREI
Stanford Report, February 7, 2007When psychology Professor Carol Dweck was a sixth-grader at P.S. 153 in Brooklyn, N.Y., she experienced something that made her want to understand why some people view intelligence as a fixed trait while others embrace it as a quality that can be developed and expanded.
Dweck's teacher that year, Mrs. Wilson, seated her students around the room according to their IQ. The girls and boys who didn't have the highest IQ in the class were not allowed to carry the flag during assembly or even wash the blackboard, Dweck said. "She let it be known that IQ for her was the ultimate measure of your intelligence and your character," she said. "So the students who had the best seats were always scared of taking another test and not being at the top anymore."
Asked what seat number Dweck occupied during that memorable year, the professor paused, and silently raised her right index finger. "But it was an uncomfortable thing because you were only as good as your last test score," she said. "I think it had just as negative an effect on the kids at the top [as those at the bottom] who were defining themselves in those terms."
From that experience, Dweck became fascinated with intelligence, convinced that IQ tests are not the only way to measure it. "I also became very interested in coping with setbacks, probably because being in that classroom made me so concerned about not slipping, not failing," she said.
Dweck, a soft-spoken, elegantly attired woman, joined Stanford's faculty in 2004 as the Lewis and Virginia Eaton Professor. Before that, she taught at Columbia for 15 years, as well as at Harvard and the University of Illinois. A native New Yorker, Dweck earned a bachelor's degree from Columbia and a doctorate in psychology from Yale.
According to Dweck, people's self-theories about intelligence have a profound influence on their motivation to learn. Students who hold a "fixed" theory are mainly concerned with how smart they are—they prefer tasks they can already do well and avoid ones on which they may make mistakes and not look smart. In contrast, she said, people who believe in an "expandable" or "growth" theory of intelligence want to challenge themselves to increase their abilities, even if they fail at first.
Dweck's research about intelligence and motivation, and how they are variously influenced by fixed and growth mindsets, has attracted attention from teachers trying to help underperforming students, parents concerned with why their daughters get turned off math and science, and even sports coaches and human-resources managers intent on helping clients reach higher levels of achievement.
The journal Child Development is releasing a paper Wednesday, Feb. 7, co-authored by Dweck titled "Implicit Theories of Intelligence Predict Achievement Across Adolescent Transition: A Longitudinal Study and an Intervention." The research shows how at one New York City junior high school students' fixed and growth theories about intelligence affected their math grades. Over two years, she said, students with a fixed mindset experienced a downward academic trend while the others moved ahead.
The psychologists then designed an eight-week intervention program that taught some students study skills and how they could learn to be smart—describing the brain as a muscle that became stronger the more it was used. A control group also learned study skills but were not taught Dweck's expandable theory of intelligence. In just two months, she said, the students from the first group, compared to the control group, showed marked improvement in grades and study habits.
"What was important was the motivation," Dweck said. "The students were energized by the idea that they could have an impact on their mind." Dweck recalled a young boy who was a ringleader of the troublemakers. "When we started teaching this idea about the mind being malleable, he looked up with tears in his eyes, and he said, 'You mean, I don't have to be dumb?'" she said. "A fire was lit under him."
Later on, the researchers asked the teachers to single out students who had shown positive changes. They picked students who were in the growth mindset group, even though they didn't know two groups existed. Among them was the former troublemaker, who "was now handing in his work early so he could get feedback and revise, plus study for tests, and had good grades," Dweck said. The research showed how changing a key belief—a student's self-theory about intelligence and motivation—with a relatively simple intervention can make a big difference. Since then, Dweck and her colleagues at Columbia have developed a computer-based version of the intervention, dubbed "Brainology," that has been tested in 20 New York City schools.
Although "Brainology" is not yet commercially available, Dweck has brought her work to public attention with her latest book, Mindset: The New Psychology of Success. The author of many academic books and articles, Dweck noted Mindset was her first foray into mainstream publishing. "My students [at Columbia] kept saying to me, 'You write for these professional journals and that's important, but what about people in the world?' We are in a profession that talks to each other and writes for each other. That's what we're rewarded for. But my students kept saying, 'Everybody should know this.'"
Mindset certainly resonated with Ross Bentley, a world-renowned car racing coach based in Seattle. Unlike coaches who stress technical skills, Bentley focuses on teaching mental competitiveness. He said great drivers strive to attain "a state of flow—a moment when you lose yourself in the act of driving, when it becomes effortless and time slows down. When you get into the flow, or the zone, you're at your peak."
Bentley was thrilled to learn that Dweck's research confirmed his personal approach to coaching. "One of the things that's fascinating for me is that someone with her knowledge has verified things I've known," he said. "She brings a scientific approach and we're able to give her real-world experience. The majority of champion racing drivers have a growth mindset."
This month, Dweck and Bentley are launching a study of about 40 racing-car drivers to learn how applying a growth mindset approach improves their speed times during the 2007 racing season. Bentley explained that car races can last hours and drivers may lose their concentration at pivotal points, making it possible to lose a race by only a few seconds. The objective of coaching is to help drivers recover quickly and maintain an optimal state of flow, he said. The research, carried out by psychology graduate student Fred Leach, will use surveys to gauge the mindset of drivers before, during and after races to see if there is a correlation with their race results, Bentley said. "The goal is to build a growth mindset," he said.
In addition to sports coaches, parents and teachers have written to Dweck to say that Mindset has given them new insight into their children and students. "One very common thing is that often very brilliant children stop working because they're praised so often that it's what they want to live as—brilliant—not as someone who ever makes mistakes," she said. "It really stunts their motivation. Parents and teachers say they now understand how to prevent that—how to work with low-achieving students to motivate them and high-achieving students to maximize their efforts." The point is to praise children's efforts, not their intelligence, she said.
Last year, Dweck taught a freshman seminar based on Mindset. She chose 16 students from more than 100 who applied, selecting those who expressed personal motivation rather than intelligence. "You can impress someone with how smart you are or how motivated you are, and I picked students who expressed their motivation," she said.
It turned out that embracing a growth mindset was critical to the students' transition to Stanford. The freshmen loved being on campus and quickly became involved in activities, Dweck said, but failed to anticipate the approach of midterm exams. "They were just really overwhelmed," she said. "How did they deal with it? They told me they would have dealt with it poorly, thinking they weren't smart or were not meant to be at Stanford. But knowing about the growth mindset allowed them to realize that they hadn't learned how to be a college student yet. They were still learning how to be successful as a Stanford student." Dweck described the seminar as a "peak experience" in her long teaching career. "The students were fantastic," she said.
Dweck continues to conduct research into what motivates people and what holds them back. Based on the success of Mindset, which is being published in nine countries, Dweck has been asked to collaborate on other non-academic projects involving business and sports. "I'm such an egghead," she said with a smile. "My book was my first foray into the real world. Articles go out into the [academic] field and it's very gratifying, but a book goes to all corners of the earth. People take a lot from it, and they introduce themselves into your life."
Dweck's work is to be featured on National Public Radio and in New York magazine. She also will present her research at the upcoming annual meeting in San Francisco of the American Association for the Advancement of Science.
Related Information
Psychology professor discusses 'growth' versus 'fixed' mindsets
Carol Dweck's Website
Contact
Directories
Maps & Directions
Printable Version
When psychology Professor Carol Dweck was a sixth-grader at P.S. 153 in Brooklyn, N.Y., she experienced something that made her want to understand why some people view intelligence as a fixed trait while others embrace it as a quality that can be developed and expanded.
Dweck's teacher that year, Mrs. Wilson, seated her students around the room according to their IQ. The girls and boys who didn't have the highest IQ in the class were not allowed to carry the flag during assembly or even wash the blackboard, Dweck said. "She let it be known that IQ for her was the ultimate measure of your intelligence and your character," she said. "So the students who had the best seats were always scared of taking another test and not being at the top anymore."
Asked what seat number Dweck occupied during that memorable year, the professor paused, and silently raised her right index finger. "But it was an uncomfortable thing because you were only as good as your last test score," she said. "I think it had just as negative an effect on the kids at the top [as those at the bottom] who were defining themselves in those terms."
From that experience, Dweck became fascinated with intelligence, convinced that IQ tests are not the only way to measure it. "I also became very interested in coping with setbacks, probably because being in that classroom made me so concerned about not slipping, not failing," she said.
Dweck, a soft-spoken, elegantly attired woman, joined Stanford's faculty in 2004 as the Lewis and Virginia Eaton Professor. Before that, she taught at Columbia for 15 years, as well as at Harvard and the University of Illinois. A native New Yorker, Dweck earned a bachelor's degree from Columbia and a doctorate in psychology from Yale.
According to Dweck, people's self-theories about intelligence have a profound influence on their motivation to learn. Students who hold a "fixed" theory are mainly concerned with how smart they are—they prefer tasks they can already do well and avoid ones on which they may make mistakes and not look smart. In contrast, she said, people who believe in an "expandable" or "growth" theory of intelligence want to challenge themselves to increase their abilities, even if they fail at first.
Dweck's research about intelligence and motivation, and how they are variously influenced by fixed and growth mindsets, has attracted attention from teachers trying to help underperforming students, parents concerned with why their daughters get turned off math and science, and even sports coaches and human-resources managers intent on helping clients reach higher levels of achievement.
The journal Child Development is releasing a paper Wednesday, Feb. 7, co-authored by Dweck titled "Implicit Theories of Intelligence Predict Achievement Across Adolescent Transition: A Longitudinal Study and an Intervention." The research shows how at one New York City junior high school students' fixed and growth theories about intelligence affected their math grades. Over two years, she said, students with a fixed mindset experienced a downward academic trend while the others moved ahead.
The psychologists then designed an eight-week intervention program that taught some students study skills and how they could learn to be smart—describing the brain as a muscle that became stronger the more it was used. A control group also learned study skills but were not taught Dweck's expandable theory of intelligence. In just two months, she said, the students from the first group, compared to the control group, showed marked improvement in grades and study habits.
"What was important was the motivation," Dweck said. "The students were energized by the idea that they could have an impact on their mind." Dweck recalled a young boy who was a ringleader of the troublemakers. "When we started teaching this idea about the mind being malleable, he looked up with tears in his eyes, and he said, 'You mean, I don't have to be dumb?'" she said. "A fire was lit under him."
Later on, the researchers asked the teachers to single out students who had shown positive changes. They picked students who were in the growth mindset group, even though they didn't know two groups existed. Among them was the former troublemaker, who "was now handing in his work early so he could get feedback and revise, plus study for tests, and had good grades," Dweck said. The research showed how changing a key belief—a student's self-theory about intelligence and motivation—with a relatively simple intervention can make a big difference. Since then, Dweck and her colleagues at Columbia have developed a computer-based version of the intervention, dubbed "Brainology," that has been tested in 20 New York City schools.
Although "Brainology" is not yet commercially available, Dweck has brought her work to public attention with her latest book, Mindset: The New Psychology of Success. The author of many academic books and articles, Dweck noted Mindset was her first foray into mainstream publishing. "My students [at Columbia] kept saying to me, 'You write for these professional journals and that's important, but what about people in the world?' We are in a profession that talks to each other and writes for each other. That's what we're rewarded for. But my students kept saying, 'Everybody should know this.'"
Mindset certainly resonated with Ross Bentley, a world-renowned car racing coach based in Seattle. Unlike coaches who stress technical skills, Bentley focuses on teaching mental competitiveness. He said great drivers strive to attain "a state of flow—a moment when you lose yourself in the act of driving, when it becomes effortless and time slows down. When you get into the flow, or the zone, you're at your peak."
Bentley was thrilled to learn that Dweck's research confirmed his personal approach to coaching. "One of the things that's fascinating for me is that someone with her knowledge has verified things I've known," he said. "She brings a scientific approach and we're able to give her real-world experience. The majority of champion racing drivers have a growth mindset."
This month, Dweck and Bentley are launching a study of about 40 racing-car drivers to learn how applying a growth mindset approach improves their speed times during the 2007 racing season. Bentley explained that car races can last hours and drivers may lose their concentration at pivotal points, making it possible to lose a race by only a few seconds. The objective of coaching is to help drivers recover quickly and maintain an optimal state of flow, he said. The research, carried out by psychology graduate student Fred Leach, will use surveys to gauge the mindset of drivers before, during and after races to see if there is a correlation with their race results, Bentley said. "The goal is to build a growth mindset," he said.
In addition to sports coaches, parents and teachers have written to Dweck to say that Mindset has given them new insight into their children and students. "One very common thing is that often very brilliant children stop working because they're praised so often that it's what they want to live as—brilliant—not as someone who ever makes mistakes," she said. "It really stunts their motivation. Parents and teachers say they now understand how to prevent that—how to work with low-achieving students to motivate them and high-achieving students to maximize their efforts." The point is to praise children's efforts, not their intelligence, she said.
Last year, Dweck taught a freshman seminar based on Mindset. She chose 16 students from more than 100 who applied, selecting those who expressed personal motivation rather than intelligence. "You can impress someone with how smart you are or how motivated you are, and I picked students who expressed their motivation," she said.
It turned out that embracing a growth mindset was critical to the students' transition to Stanford. The freshmen loved being on campus and quickly became involved in activities, Dweck said, but failed to anticipate the approach of midterm exams. "They were just really overwhelmed," she said. "How did they deal with it? They told me they would have dealt with it poorly, thinking they weren't smart or were not meant to be at Stanford. But knowing about the growth mindset allowed them to realize that they hadn't learned how to be a college student yet. They were still learning how to be successful as a Stanford student." Dweck described the seminar as a "peak experience" in her long teaching career. "The students were fantastic," she said.
Dweck continues to conduct research into what motivates people and what holds them back. Based on the success of Mindset, which is being published in nine countries, Dweck has been asked to collaborate on other non-academic projects involving business and sports. "I'm such an egghead," she said with a smile. "My book was my first foray into the real world. Articles go out into the [academic] field and it's very gratifying, but a book goes to all corners of the earth. People take a lot from it, and they introduce themselves into your life."
Dweck's work is to be featured on National Public Radio and in New York magazine. She also will present her research at the upcoming annual meeting in San Francisco of the American Association for the Advancement of Science.
Related Information
Psychology professor discusses 'growth' versus 'fixed' mindsets
Carol Dweck's Website
Contact
Directories
Maps & Directions
Langganan:
Postingan (Atom)
Link
- http://www.google.com
- http://www.google.com/AdSensi
- http://www.SelfMotivationTecniques.Blogspot.com
- http://www.CreateYourOwnDestiny.com
- http://www.MadeForSuccess.com
- http://www.QuestForYiurBest.com
- http://www.Unstoppable.net
- http://www.BuildingChampions.com
- http://www.SeattleBook.com
- http://www.Autorespond-it.com
- http://www.sendfree.com
- http://www.BookHungerGroups.com
- http://www.serambi.co.id
- http://www.ufukpress.com
- http://www.mizan.com
- http://www.gramedia.com
- http://www.obor.or.id
- http://www.cakrawalasuryaco.id
- http://www.erlangga.co.id
- http://www.briantracy.com
- http://www.kompas.com
- http://www.ezinearticles.com
- http://www.GoArticles.com
- http://www.ArticleCity.com
- http://www.IdeaMarketers.com
- http://www.ArticleDepot.co.uk
- http://www.valuableContent.com