Rabu, 21 Mei 2008

HINDARI “MOVE CONFLICT”




Oleh Aminuddin Siregar
Soedjatmoko (Alm), dalam buku “Menjelajah Cakrawala : Kumpulan Karya Visioner Soedjatmoko” --disunting oleh Kathleen Newland dan Kemala Candrakirana Soedjatmoko-- menganjurkan agar kita bisa memahami “dinamika kekerasan dan mencari sarana-sarana penyelesaiannya secara damai”. Tentu saja anjuran itu bukan cuma sekedar himbauan belaka, melainkan berisi ajakan moral agar kita dapat menyikapi berbagai persoalan yang mengemuka, sembari berpikir secara jernih dan merenungkan kembali, untuk menemukan modus baru, misalnya penyelesaian konflik secara rujuk dan bisa diterima oleh semua pihak.
Sebab hingga sekarang-sekarang ini, kita masih tetap diliputi kerisauan, lantaran pemerintah kita belum bisa menuntaskan berbagai persoalan yang muncul baik di pusat, --seperti masalah krisis ekonomi, atau serangkaian konflik yang terjadi-- maupun masalah di beberapa daerah, misalnya pemekaran propinsi Riau, konflik Maluku, Nangro Aceh Darussalam, kesemua itu belum sepenuhnya dapat dikatakan pulih. Sebagai akibat dari kemungkinan munculnya berbagai bentuk, motif, dan modus konflik yang tidak bisa dideteksi sedini mungkin, sehingga dari hari ke hari, fenomena kemunculan konflik yang menjurus pada kekerasan kian beragam.
Fenomena kemunculan konflik itu tentu saja akan membawa dampak terhadap hampir semua segi kehidupan kita, baik politik, ekonomi, maupun sosial, budaya. Kemudian akan merongrong kewibawaan negara dan wibawa bangsa kita. Secara politik mungkin saja bangsa Indonesia dianggap sebagai bangsa yang mudah dipicu oleh semacam provokasi agar bangsa Indonesia tercerai berai.
Lalu secara ekonomi bangsa kita ini mungkin dianggap, bangsa yang mudah diombang ambing, dipermainkan, dan secara ekonomis bangsa kita menjadi bangsa yang tertindas, hingga tidak punya daya saing dan keunggulan di mata internasional. Sedangkan secara sosial barangkali bangsa kita dianggap tidak bisa hidup rukun secara bersama, hingga demikian mudahnya muncul demoralisme.
Sementara secara kultural mungkin saja dianggap bahwa “kebudayaan telah meninggal dunia” –meminjam ungkapan Emha Ainun Nadjib, yang akrab disapa Cak Nun, ketika memberi penjelasan atas penyelenggaraan “Takziah Kebudayaan” yang diselenggarakan sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pada tahun 1996 silam.
Padahal, semua aspek itu, apakah itu politik, ekonomi sosial dan budaya adalah sarana-sarana strategis paling mungkin digunakan untuk mengantisipasi meluasnya konflik yang tidak kita inginkan. Bahwa penyelesaian strategis sangat diperlukan dalam menghadapi berbagai situasi sulit. Bukan saja dalam upaya melakukan perdamaian, dan mengelola konflik itu sendiri, melainkan juga ketika kita mengadaptasi perbedaan dan menghargai semangat keragaman budaya yang ada di tengah masyarakat..
Persoalannya, langkah apa yang dapat dilakukan untuk menghindari “move conflict”, dalam menyelesaikan masalah, apabila tidak ditemukan sarana dan modus baru penyelesaian konflik secara damai ? Bahwa menghindari move conflict atau langkah konflik, adalah lebih baik ketimbang menyelesaikan konflik dengan sarana konflik pula. Sebab, penyelesaian strategis ialah kemampuan kita untuk menghargai dan menghormati perbedaan pendapat orang lain, adat istiadat orang lain, budaya. Begitu juga perbedaan suku, ras, agama dan bahkan keyakinan politik orang lain. Termasuk segala sesuatu kelebihan dan kekuarangan orang lain. Ini menjadi amat penting untuk memelihara perdamaian.

Menyegani Perbedaan
Bagaimanapun juga sikap menghormati dan menyegani perbedaan, merupakan langkah awal menghindari munculnya kegaduhan, seteru, permusuhan, dengki dan dendam. Termasuk menghindari fitnah dan prasangka buruk. Sikap seperti inilah yang oleh Ashadi Siregar disebut sebagai semangat menghargai perbedaan, sekalipun dengan latar belakang yang berbeda.
Kalau saja semua kita-kita ini, sipapun saja, baik secara individual maupun kelompok punya kemampuan untuk menahan diri, maka kita akan dapat memelihara persambungan di antara sesama kita. Usaha ini bukan cuma memberi sentuhan manusiawi, melainkan juga mempererat tali persambungan-persambungan yang akan melahirkan wujud nyata daya saing kultural kita.
Dengan kata lain, bangsa kita sendirilah yang akan memelihara komunitas masyarakat bangsa kita sendiri dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Itu. artinya kita punya mutu mampu memelihara kedamaian di semua aspek kehidupan kita. Sehingga, campur tangan negara-negara lain untuk urusan dalam negeri kita, agaknya bisa dikurangi intensitasnya. Apalagi kalau bantuan pihak luar itu misalnya, justru menimbulkan luka yang kian dalam.
Tentu saja, saya tidak punya resep apa pun untuk memulihkan keadaan yang katakanlah sedemikian kacaunya, apalagi untuk mengatasi persoalan yang sedemikian rumit dan sangat ruwet di tengah krisis multidimensi seperti sekarang ini. Hanya saja dalam setiap usaha penyelesaian perseteruan, hanya dapat diatasi apabila setiap unsur dalam masyarakat dilibatkan. Tidak bisa sendiri-sendiri, atau sepihak.
Maka itu diperlukan kerjasama mencari solusi, menemukan sarana dan modus baru penyelesaian secara damai. Dalam konteks itu, perlu bagi kita untuk memunculkan sosok dan orientasi persambungan kultural yang berbasis jaringan etnis dengan menjunjung tinggi martabat manusia.
Dengan begitu, sense of belonging, yakni perasaan bersatu dengan lainnya sangat diperlukan. Jika nilai ini tertanam disetiap diri kita, setiap orang, setiap individu manusia Indonesia, tiap kelompok apapun saja, maka bangsa ini akan dapat membendung ancaman arus perpecahan. Setidaknya mengurangi kemungkinan timbulnya konflik baru.

Keragaman Budaya
Adalah tugas dari semua kita-kita ini, semua orang dan semua kelompok yang ada dalam masyarakat untuk menumbuhkan semangat menghormati perbedaan, tanpa melihat perbedaan latar belakang budaya setiap kita. Ini barangkali saja merupakan kebutuhan moral khalayak ramai. Tetapi dibalik itu, nilai yang terkandung di dalamnya ialah memungkinkan kita hidup secara rukun dan damai, hidup berdampingan secara bersama.
Sisi paling positif dari keragaman budaya ialah menjadikannya sebagai kekuatan daya tangkal terhadap arus budaya politik kekerasan, misalnya. Dilihat dari kekinian kita, maka penyelesaian strategis itu mesti berorientasi pada keragaman budaya. Ini juga bisa diasumsikan sebagai kekuatan daya tangkal dimaksud. Sebab dalam setiap masyarakat yang memiliki nilai tertentu dalam keseharian hidup mereka, akan dapat merasa sangat dihargai dan dijunjung tinggi martabat kemanusiaannya apabila seluruh aspek budaya yang ada dalam kehidupan mereka sehari-hari dihormati.
Sebaliknya keragaman budaya bisa jadi ancaman, apabila kita mengabaikan rasa solidaritas terhadap sesama, mengabaikan kebersamaan, dan apabila kita mengabaikan nilai-nilai yang dianut di lingkungan suatu masyarakat. Bahwa lingkungan hidup sebagaian besar bangsa Indonesia akan diserbu oleh multidimensi kultural yang sangat aneka ragam. Bukan saja karena jumlah penduduk yang bertambah, tetapi juga sebagai akibat dari mudahnya melakukan berbagai persambungan dan kemampuan teknologi yang digunakan, memungkinkan setiap orang untuk akses ke berbagai kultur baru.
Dalam konteks inilah agaknya kita perlu memahami dinamika kekerasan yang disertai dengan berbagai motif baru pula. Karena itu, kembali yang perlu kita tanamkan ialah menyebarluaskan makna perlunya hidup bersama dengan semangat kebersamaan dalam keragaman. Bahwa menghindari langkah konflik dalam penyelesaian konflik, berarti menghindari tindakan kekerasan.
Akhirnya, untuk mencapai penyelesaian damai dan mengatasi persoalan krusial yang kini tengah dihadapi bangsa Indonesia. Perlu pengembangan model persambungan yang sifatnya human interest, yakni dengan sentuhan perasaan. Bila hal ini dilihat dari mendesaknya penyelesaian damai dan perlunya segera diatasi. Maka peranan pemerintah,dengan demikian menjadi kata kunci, tatkala penyelesaian berbagai kasus dan tuntutan masyarakat yang mengemuka terus menajam.
Karena itu pula, peran aktif pemerintah mengajak semua komponen dan setiap unsur masyarakat untuk menjalankan fungsinya, yang antara lain ialah memberi pengertian-pengertian kepada pihak yang bertikai, berseteru, atau apapun saja bentuk pertentangan yang terjadi dalam kehidupan mereka. Dalam kontek inilah agaknya perlunya kehadiran public philosophers, tokoh panutan, tokoh politik,dan tokoh-tokoh lainnya di tengah masyarakat. Ini sangat penting artinya dalam upaya penyelesaian damai atau rekonsialiasi. Apalagi bila pertentangan yang terjadi merupakan ancaman bagi kewibawaan bangsa dan negara. Begitu pula dalam penyelesaian konflik secara damai. Selebihnya, Wallahua’lam.

Harian Analisa, Medan. 12 Mei 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar